Jumat, 23 Januari 2015

The Crazy Story in Hospital

Tanggal 7 Januari kemarin, saya beranjak menuju kota atlas. Saya berniat untuk menemui teman lama saya yang jauh-jauh dari Kalimantan, Otoy, yang tersebab kebetulan sedang ada keperluan di sana. Karena jarak Kudus-Semarang hanya satu setengah jam, saya tak mau menyiakan kesempatan untuk bertemu dengannya.  

Belum sempat bertemu dengan si Otoy, kakak saya memaksa untuk segera pulang. Saya mendapatkan kabar yang cukup menghantam batin saya, bahwa ibuk sedang dilarikan ke rumah sakit. Kabar yang cukup mencengangkan. Pasalnya, waktu akan berangkat, saya berpamitan dengan ibuk yang terlihat dalam kondisi sehat bugar. Tak menampakkan hal yang mencurigakan sama sekali.

Sebetulnya sangat dilematis. Antara menemui teman lama, atau segera balik lagi ke Kudus untuk menjaga ibu saya. Karena takut dikutuk menjadi batu bata, akhirnya saya segera pulang. Saya pun gagal total untuk menemui teman lama saya, Otoy. Saya memilih pulang.

Setelah sampai di Kudus, saya pun langsung menuju rumah sakit. Saya melihat ibu saya sedang tergulai lemas di sana. Tangan kirinya sudah tertancap jarum infuse. Ini kondisi yang sangat jarang saya lihat. Ibuk memang jarang sekali sakit. Malahan, saya yang sering minta dikerokin pas lagi masuk angin, akibat sering begadang mikirin mantan.

Bahkan, seumur-umur saya, baru kali ini ibuk masuk rumah sakit. Biasanya, sakitnya ibuk paling cuma batuk pilek dan pusing. Minum paramex juga sembuh. Saya sempat bilang, “Buk, njenengan ya bisa sakit to?”. Pertanyaanku cuma dijawab cengengesan dengan gamparan yang lumayan melinukan.

Saya heran, biasanya fisik ibuk sangat kuat. She is my superwomen. Ngangkat apa saja kuat. Ngangkat jemuran, ngangkat batu bata, ngangkat semen, ngangkat genteng, semuanya kuat (kok jadi kayak kuli bangungan?). Kalau saya susah dibangunin saja, saya sering diangkat lalu dicemplungin ke jamban (yang ini bercanda).

Menurut analisis dokter dan hasil rontgen, ibu saya terserang penyakit usus buntu kronis. Kabar itu cukup menghantam batin saya. Katanya, harus segera dioperasi agar tidak semakin parah. Dokter meminta saya menandatangani surat persetujuan keluarga untuk segera mengoperasi ibuk. Sebagai orang awam, saya harus taat sama yang lebih ahli (dokter). Ya, saya setuju ibuk dioperasi, demi kesembuhan!

“Gimana, Pak, ibuknya dioperasi atau tidak? Ini usus buntunya sudah kronis, lho..” tanya seorang dokter yang bernama Attaqi.
“Kalau itu harus, lebih baik dioperasi saja, Dok,”  tegas saya.

Di situ saya cukup kecewa dengan si dokter. Bukan karena pelayanannya yang buruk, tapi karena saya dipanggil ‘Pak’. Saya dikira suami dari ibuk saya. Ibuk saya memang masih cantik, tapi apakah saya terlihat se-tua itu? Oke, fine! Ini termasuk penghinaan dan pencemaran nama baik. Akan saya laporkan ke Kak Seto dan Komnas perlindungan anak. Tapi karena saya takut masuk infotainment dan menjadi bahan perbincangan di kalangan remaja dan ibu-ibu PKK, saya menurungkan niat tersebut.

***
Pagi-pagi sekali, sekitar jam 5 subuh, ibuk saya didatangi oleh dua perawat yang membawa gledekan (entah namanya apa, tapi maksud saya itu lho, yang digunakan untuk membawa pasien). Jam 5.30 adalah jadwal operasi ibuk. Menurut saya, sih, kepagian. Saya khawatir, si dokter mengoperasi dalam keadaan masih ngantuk. Kan gak lucu kalau lagi ngoperasi malah ketiduran.

Yang membuat saya tenang adalah Ibuk terlihat sangat santai. Tak menampakkan wajah takut sama sekali. Ibuk cuma bilang, ‘Wacakke sholawat, Fa..”. Ya, ibuk cuma minta dibacakan Sholawat.

Dengan cepat dan sigap, Ibuk di-gledek dari kamarnya oleh kedua perawat yang pipinya sunable- menuju ruang operasi. Saya pun mengikuti dari belakang. Bukan karena saya khawatir dengan ibuk, tapi karna saya tidak mau melewatkan kebohaian body perawat yang mendorong gledekan itu. Sungguh, itu pemandangan yang luar biasa. Membuat iman dan imron saya goyah. Sayang kalau terlewatkan begitu saja. *ditabok

Setelah sampai di lokasi operasi, saya pun diminta untuk menunggu di luar. Tidak diijinkan untuk masuk ke dalam ruangan.

‘Maaf, ya, Mas, selain dokter dan asisten, siapa pun tidak boleh masuk ruangan ini,’ kata suster dengan senyuman seperti ngajak jadian. Karena saya tidak siap untuk ditembak terlalu cepat, saya pun memutuskan untuk menunggu ibuk di luar.

***
Saya duduk di luar ruangan. Sambil komat-kamit, membaca solawat dengan harapan operasi ibuk sukses dan lancar. Tapi, tiba-tiba, kejadian aneh pun terjadi. Kearifan kedua telinga saya terusik oleh suara musik dangdut. Lumayan kencang. Karena penasaran, saya mencari sumber suara musik itu.

Degg!!! Setelah mendekatkan telinga ke pintu ruangan operasi, saya yakin suara itu bersumber dari dalam sana.

Saya semakin panik. Mondar-mandir di depan pintu ruang operasi dengan kecepatan tinggi. Saya khawatir terjadi apa-apa dengan ibu saya di dalam sana. Kok bisa, ada suara dangdutan di dalam ruangan operasi? Pikir saya, ini rumah sakit atau tempat karaoke? Jangan-jangan, ibuk saya di dalam sana gak dioperasi, tapi malah diajak joget sama dokternya..

“Ibuk kan lagi sakit, masa iya mau diajak joget?” Saya curiga di dalam sana tiba-tiba muncul pembawa acara ‘I like dangdut’, kemudian mereka menantang dokter dan para perawat untuk berjoget bersama. Mustahil.

Jantung saya berdegup cemas. Kalau diajak karaoke, sebaiknya jangan. Ibu saya kalau nyanyi suaranya jelek. Pas ngomelin saya saja, suaranya fals. Saya takut kalau ibuk saya disuruh nyanyi, malah malu-maluin. Sebelum semakin mencoreng nama baik keluarga, saya pun menuju ke tempat suster yang jaga, untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana.

‘Ter, kok di dalam ruang operasi ada suara musik, ya? Masa iya, ibuk saya sakit malah diajak karaoke?’ tanya saya.

‘Oh, iya, memang di dalam ruang operasi biasanya pak dokter menyalakan musik, agar saat proses operasi lebih rileks, ndak tegang,” ucap suster perlahan, namun cukup membuat saya tegang.

‘Oh, gitu ya, Ter? Baru tau saya.. Makasih, Suster...’ pungkas saya. Setelah saya menemukan jawaban yang cukup absurd namun memuaskan, saya pun perlahan kembali ke depan ruang operasi. Kalau dipikir-pikir, bener juga sih, jika segala sesuatu dilakukan dengan tenang, hasilnya pun akan maksimal dan memuaskan. Good job, dokter!

Karena bosan menunggu, saya berusaha membunuh waktu dengan maen game di handphone. Meski di situasi yang cemas, saya mencoba untuk rileks. Satu jam telah berlalu, battery handphone nyaris habis, namun belum juga ada tanda-tanda selesainya operasi. Malah terdengar samar-samar dari dalam ruangan, dokter memutar lagu “goyang dumang”.

Sial, saya bosan. Daripada saya ikutan goyang kayak orang sarap, saya memutuskan untuk menuju warung Lenthog Tanjung, sebagai upaya tunggal mengganjal perut sikspek saya yang mulai meraung lapar. Saya rese kalo lagi laper..(loh?)

Usai memuaskan hasrat perut, saya menuju kembali ke ruang operasi. Sayup-sayup terdengar lagu “oplosan” mulai dipelankan. Itu mungkin sebagai pertanda bahwa operasi sudah selesai dilaksanakan.

Setelah sekitar 2 jam, ibuk pun dibawa kembali ke ruangannya. Suster memberikan saya bungkusan usus sebagai tanda bukti bahwa ibuk saya telah berhasil dimutilasi. Maksud saya dioperasi. Ibuk masih memakai kostum khusus operasi, dan belum bangun karena bius masih merenggut kesadarannya.


***
Hampir seminggu hidup saya terkatung-katung di rumah sakit. Banyak hal-hal ngenes yang sudah saya alami. Tidur hanya di kursi tunggu depan ruangan yang nyamuknya sering menyodomi pipi saya hingga hamil, bau obat yang kadang membuat saya ingin muntah, ikut haru dengan suara isak tangis keluarga pasien lain yang ternyata tak bisa terselamatkan, namun itu semua gak akan mengalahkan niat saya untuk jagain ibuk. Ya, ibuk yang membesarkan saya hingga segede kingkong kayak sekarang. Tanpa ibuk, saya hanyalah butiran zigot yang bingung mau ngapain.

***
Pada akhirnya, tak lupa saya ucapkan banyak terima kasih kepada pihak rumah sakit, yang telah memberikan pelayanan yang –menurut saya- lebih dari sekedar maksimal. Walaupun kelas 2. Tempat yang bersih dan nyaman, fasilitas wifi gratis yang membunuh rasa bosan, senyum simpatik dan view body seksi para suster yang cipokable sebagai pembinasa kekantukan. Thanks for you all. *digampar

Terima kasih juga untuk Pak Susilo Bambang Yudhoyono yang telah membuat program kartu BPJS Kesehatan, sehingga ibuk saya dapat berobat gratisssssssss dengan asuransi tersebut, tak dipungut biaya apa pun. *salim


And… thanks for you all… yang sudah menyisihkan waktu buat baca postingan ini...

0 komentar:

Posting Komentar