Tanggal 7 Januari kemarin, saya beranjak menuju kota atlas. Saya berniat
untuk menemui teman lama saya yang jauh-jauh dari Kalimantan, Otoy, yang tersebab
kebetulan sedang ada keperluan di sana. Karena jarak Kudus-Semarang hanya satu
setengah jam, saya tak mau menyiakan kesempatan untuk bertemu dengannya.
Belum sempat bertemu dengan si Otoy, kakak saya memaksa untuk segera
pulang. Saya mendapatkan kabar yang cukup menghantam batin saya, bahwa ibuk
sedang dilarikan ke rumah sakit. Kabar yang cukup mencengangkan. Pasalnya,
waktu akan berangkat, saya berpamitan dengan ibuk yang terlihat dalam kondisi sehat
bugar. Tak menampakkan hal yang mencurigakan sama sekali.
Sebetulnya sangat dilematis. Antara menemui teman lama, atau segera
balik lagi ke Kudus untuk menjaga ibu saya. Karena takut dikutuk menjadi batu
bata, akhirnya saya segera pulang. Saya pun gagal total untuk menemui teman lama
saya, Otoy. Saya memilih pulang.
Setelah sampai di Kudus, saya pun langsung menuju rumah sakit. Saya
melihat ibu saya sedang tergulai lemas di sana. Tangan kirinya sudah tertancap
jarum infuse. Ini kondisi yang sangat jarang saya lihat. Ibuk memang jarang sekali
sakit. Malahan, saya yang sering minta dikerokin pas lagi masuk angin, akibat
sering begadang mikirin mantan.
Bahkan, seumur-umur saya, baru kali ini ibuk masuk rumah sakit. Biasanya,
sakitnya ibuk paling cuma batuk pilek dan pusing. Minum paramex juga sembuh.
Saya sempat bilang, “Buk, njenengan ya bisa sakit to?”. Pertanyaanku
cuma dijawab cengengesan dengan gamparan yang lumayan melinukan.
Saya heran, biasanya fisik ibuk sangat kuat. She is my superwomen.
Ngangkat apa saja kuat. Ngangkat jemuran, ngangkat batu bata, ngangkat semen,
ngangkat genteng, semuanya kuat (kok jadi kayak kuli bangungan?). Kalau
saya susah dibangunin saja, saya sering diangkat lalu dicemplungin ke jamban
(yang ini bercanda).
Menurut analisis dokter dan hasil rontgen, ibu saya terserang penyakit usus
buntu kronis. Kabar itu cukup menghantam batin saya. Katanya, harus segera
dioperasi agar tidak semakin parah. Dokter meminta saya menandatangani surat
persetujuan keluarga untuk segera mengoperasi ibuk. Sebagai orang awam, saya
harus taat sama yang lebih ahli (dokter). Ya, saya setuju ibuk dioperasi, demi
kesembuhan!
“Gimana, Pak, ibuknya dioperasi atau tidak? Ini usus buntunya sudah
kronis, lho..” tanya seorang dokter yang bernama Attaqi.
“Kalau itu harus, lebih baik dioperasi saja, Dok,” tegas saya.
Di situ saya cukup kecewa dengan si dokter. Bukan karena pelayanannya
yang buruk, tapi karena saya dipanggil ‘Pak’. Saya dikira suami dari
ibuk saya. Ibuk saya memang masih cantik, tapi apakah saya terlihat se-tua itu?
Oke, fine! Ini termasuk penghinaan dan pencemaran nama baik. Akan saya
laporkan ke Kak Seto dan Komnas perlindungan anak. Tapi karena saya takut masuk
infotainment dan menjadi bahan perbincangan di kalangan remaja dan ibu-ibu PKK,
saya menurungkan niat tersebut.
***
Pagi-pagi sekali, sekitar jam 5 subuh, ibuk saya didatangi oleh dua
perawat yang membawa gledekan (entah namanya apa, tapi maksud saya itu
lho, yang digunakan untuk membawa pasien). Jam 5.30 adalah jadwal operasi ibuk.
Menurut saya, sih, kepagian. Saya khawatir, si dokter mengoperasi dalam
keadaan masih ngantuk. Kan gak lucu kalau lagi ngoperasi malah ketiduran.
Yang membuat saya tenang adalah Ibuk terlihat sangat santai. Tak
menampakkan wajah takut sama sekali. Ibuk cuma bilang, ‘Wacakke sholawat,
Fa..”. Ya, ibuk cuma minta dibacakan Sholawat.
Dengan cepat dan sigap, Ibuk di-gledek dari kamarnya oleh kedua
perawat yang pipinya sunable- menuju ruang operasi. Saya pun mengikuti
dari belakang. Bukan karena saya khawatir dengan ibuk, tapi karna saya tidak
mau melewatkan kebohaian body perawat yang mendorong gledekan itu. Sungguh,
itu pemandangan yang luar biasa. Membuat iman dan imron saya goyah. Sayang
kalau terlewatkan begitu saja. *ditabok
Setelah sampai di lokasi operasi, saya pun diminta untuk menunggu di
luar. Tidak diijinkan untuk masuk ke dalam ruangan.
‘Maaf, ya, Mas, selain dokter dan asisten, siapa pun tidak boleh
masuk ruangan ini,’ kata suster dengan senyuman seperti ngajak jadian. Karena
saya tidak siap untuk ditembak terlalu cepat, saya pun memutuskan untuk menunggu
ibuk di luar.
***
Saya duduk di luar ruangan. Sambil komat-kamit, membaca solawat dengan
harapan operasi ibuk sukses dan lancar. Tapi, tiba-tiba, kejadian aneh pun
terjadi. Kearifan kedua telinga saya terusik oleh suara musik dangdut. Lumayan
kencang. Karena penasaran, saya mencari sumber suara musik itu.
Degg!!! Setelah mendekatkan telinga ke pintu ruangan operasi, saya yakin
suara itu bersumber dari dalam sana.
Saya semakin panik. Mondar-mandir di depan pintu ruang operasi dengan
kecepatan tinggi. Saya khawatir terjadi apa-apa dengan ibu saya di dalam sana. Kok
bisa, ada suara dangdutan di dalam ruangan operasi? Pikir saya, ini rumah
sakit atau tempat karaoke? Jangan-jangan, ibuk saya di dalam sana gak
dioperasi, tapi malah diajak joget sama dokternya..
“Ibuk kan lagi sakit, masa iya mau diajak joget?” Saya curiga di dalam
sana tiba-tiba muncul pembawa acara ‘I like dangdut’, kemudian mereka
menantang dokter dan para perawat untuk berjoget bersama. Mustahil.
Jantung saya berdegup cemas. Kalau diajak karaoke, sebaiknya jangan. Ibu
saya kalau nyanyi suaranya jelek. Pas ngomelin saya saja, suaranya fals. Saya
takut kalau ibuk saya disuruh nyanyi, malah malu-maluin. Sebelum semakin
mencoreng nama baik keluarga, saya pun menuju ke tempat suster yang jaga, untuk
menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana.
‘Ter, kok di dalam ruang operasi ada suara musik, ya? Masa iya, ibuk
saya sakit malah diajak karaoke?’ tanya saya.
‘Oh, iya, memang di dalam ruang operasi biasanya pak dokter menyalakan
musik, agar saat proses operasi lebih rileks, ndak tegang,” ucap suster perlahan,
namun cukup membuat saya tegang.
‘Oh, gitu ya, Ter? Baru tau saya.. Makasih, Suster...’ pungkas saya.
Setelah saya menemukan jawaban yang cukup absurd namun memuaskan, saya pun
perlahan kembali ke depan ruang operasi. Kalau dipikir-pikir, bener juga sih, jika
segala sesuatu dilakukan dengan tenang, hasilnya pun akan maksimal dan
memuaskan. Good job, dokter!
Karena bosan menunggu, saya berusaha membunuh waktu dengan maen game di
handphone. Meski di situasi yang cemas, saya mencoba untuk rileks. Satu jam
telah berlalu, battery handphone nyaris habis, namun belum juga ada tanda-tanda
selesainya operasi. Malah terdengar samar-samar dari dalam ruangan, dokter
memutar lagu “goyang dumang”.
Sial, saya bosan. Daripada saya ikutan goyang kayak orang sarap, saya
memutuskan untuk menuju warung Lenthog Tanjung, sebagai upaya tunggal
mengganjal perut sikspek saya yang mulai meraung lapar. Saya rese kalo
lagi laper..(loh?)
Usai memuaskan hasrat perut, saya menuju kembali ke ruang operasi. Sayup-sayup
terdengar lagu “oplosan” mulai dipelankan. Itu mungkin sebagai pertanda
bahwa operasi sudah selesai dilaksanakan.
Setelah sekitar 2 jam, ibuk pun dibawa kembali ke ruangannya. Suster
memberikan saya bungkusan usus sebagai tanda bukti bahwa ibuk saya telah berhasil
dimutilasi. Maksud saya dioperasi. Ibuk masih memakai kostum khusus operasi, dan belum bangun karena
bius masih merenggut kesadarannya.
***
Hampir seminggu hidup saya terkatung-katung di rumah sakit. Banyak
hal-hal ngenes yang sudah saya alami. Tidur hanya di kursi tunggu depan ruangan
yang nyamuknya sering menyodomi pipi saya hingga hamil, bau obat yang kadang
membuat saya ingin muntah, ikut haru dengan suara isak tangis keluarga pasien
lain yang ternyata tak bisa terselamatkan, namun itu semua gak akan mengalahkan
niat saya untuk jagain ibuk. Ya, ibuk yang membesarkan saya hingga segede
kingkong kayak sekarang. Tanpa ibuk, saya hanyalah butiran zigot yang bingung
mau ngapain.
***
Pada akhirnya, tak lupa saya ucapkan banyak terima kasih kepada pihak
rumah sakit, yang telah memberikan pelayanan yang –menurut saya- lebih dari
sekedar maksimal. Walaupun kelas 2. Tempat yang bersih dan nyaman, fasilitas
wifi gratis yang membunuh rasa bosan, senyum simpatik dan view body seksi
para suster yang cipokable sebagai pembinasa kekantukan. Thanks for you
all. *digampar
Terima kasih juga untuk Pak Susilo Bambang Yudhoyono yang telah membuat
program kartu BPJS Kesehatan, sehingga ibuk saya dapat berobat gratisssssssss dengan
asuransi tersebut, tak dipungut biaya apa pun. *salim
And… thanks for you all… yang sudah menyisihkan waktu buat baca
postingan ini...
0 komentar:
Posting Komentar