Minggu, 20 Juli 2014

Nila, My Beloved Friend

***
Wanita ramah bersuara indah yang mengangkat telepon terdengar takjub begitu mengenali lugatku. Tentunya, dia pasti tak pernah menyangka akan ditelpon olehku. Sesaat kemudian dengan suara ramah yang tidak dibuat-buat itu, dia menyapa tanpa ragu,

“Ofaaa!! Ke mana saja kamu? Sudah hampir setahun ini tak ada kabar! Jahat!”  bentaknya dengan nada yang hampir masih tak percaya bahwa aku, sahabat di kampusnya dulu yang menelponnya. Aku memilih langsung mengingatkannya dengan warung soto di depan kampus kami dulu.

“Kamu yang jahat, aku tunggu di warung soto Pak Mo, tapi kamu tak kunjung datang. Demi apa kamu malah memarahiku? Hahhh? Hahaha..” balasku dengan tawa yang seakan menumpahkan kerinduan yang teramat dalam padanya.

Nikmat rasanya bisa mendengar lagi suara itu. Dia pun turut larut dalam obrolan panjang tentang masa lalu kami. Tetiba, suaranya melemah saat kucecar beberapa pertanyaan tentang siapa kekasihnya, atau bahkan siapa calon suaminya sekarang. Pembicaraannya justru dialihkan ke luar bahasan; tentang beberapa muridnya yang sering nakal saat diajarnya.

“Eh, Fa, murid-muridku nakal sekali. Mereka terkadang menggodai dan mengejekku dengan istilah ‘bu guru cantik, bu guru seksi’. Padahal mereka baru berumur 15 tahun. Cepat sekali proses pendewasaan remaja sekarang.” Katanya dengan nada sebal.

“Ah, sudahlah, jangan mengalihkan pembicaraan. Toh juga kamu emang cantik, kan? Hahahaha…” ledekku, sambil membayangkan barisan gigi putihnya yang berderet rapi, seperti barisan santri di pondok kami dahulu saat dihukum karna terlambat pergi ke aula untuk mengaji kitab Tafsir.

“Fa, sekarang aku mau dijodohin sama abahku, sama anak Kyai Wonogiri,” tuturnya dengan intonasi yang rendah. Seperti not yang keluar dari piano rusak. Aku paham, pertanyaan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tak bisa diungkapkannya dengan kata lantang. Dia butuh untuk menenangkan hatinya sejenak.

Nila, dia adalah sahabatku saat berburu ilmu di kampus ijo dulu. Hampir setahun lalu kami berpisah, karena kita harus boyongan ke rumah masing-masing sesaat setelah ceremonial wisuda kami. Aku pun terlalu sibuk menyelesaikan deadline dari redaktur untuk mengirimkan beberapa hasil liputan. Itu kuceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah memberi kabar, bahkan cuma sekedar menelponnya sejak itu.

”Jadi sekarang apa yang membuatmu gundah? Dia kan “gus”, sangat cocok untukmu yang juga produk dari orang alim dan sholeh?”

”Kebelumsiapan untuk menikah.”

”Ah Bohong! Kalau ini hanya soal belum siap, tak perlu kau sesedih itu. Beri saja waktu setahun atau dua tahun lagi, sampai kau siap!” cecarku sambil sesedikit tertawa.

Aku tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur lagi seperti desingan peluru-peluru yang ditembakkan oleh densus 88 pada terduga teroris di Batang tahun lalu.

Lama tak bersua, mau tidak mau aku membongkar-bongkar kembali kenangan kami yang sempat tertimbun oleh jarak dan waktu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatanku. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan aku yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripadaku.

Dulu, pernah pada suatu siang, aku berada di perpustakaan pusat, memerhatikannya mengobrak-abrik rak buku, mencari beberapa referensi tugas untuk presentasi kelompok kami. Nomor urut absen Nila yang tepat di bawahku, memaksa kami untuk selalu bersekelompok. Setelah duduk, setumpuk buku filsafat dan sebotol teh dingin bersedotan dua, yang menjadi pelega haus kami digeletakkan di atas meja. Saking seriusnya, dahi yang putih bersih tanpa polesan bedak itu hampir seluruhnya berkerut. Mata yang sedikit sipit namun cukup tajam itu pun dengan beringas bergerak naik turun menyapu semua halaman buku, membaca teks-teks literatur arab itu. Beberapa jengkal di sampingnya, aku terduduk santai meletakkan punggungku di sandaran kursi, menyumpal kedua telingaku dengan hedset dan music keras, dan menaikkan kaki kiriku sambil bermain-main dengan dua pulpen yang kugerakkan layaknya menggebuk drum.

Bagaimana tidak, dia sosok sahabat yang nyaris sempurna. Sifat ikhlas, membuat dia tak pernah merasa ‘dimanfaatkan’ olehku. Beda denganku, aku hanya seorang sahabat yang hanya bisa tetap berada di sampingnya, berusaha mengusap kesedihannya dengan lemparan-lemparan joke yang sedikit banyak mampu membuat tawanya melepas. Katanya, hanya akulah orang yang tak pernah kehabisan cara membuatnya melupakan segala kesedihannya. Saat-saat seperti itulah yang selalu kurindukan. Ditambah suara merdunya saat melafalkan ayat-ayat Tuhan tanpa menengok sedetik pun ke al-Quran yang dipeganngnya. Hampir setiap hari kita bertemu dalam kelas dan jam yang sama. Mungkin Itulah yang memaksa kita semakin dekat.

“Ya, benar katamu. Aku masih meridukan ‘dia’. Tanpa aku cerita, kamu pasti tau lah… “

“Sudahlah, tak usah kauridukan begundal Sofwan itu. Dia hanya sosok ‘banci’ yang mencoba kau-pria-kan. Kalau dia benar mencintaimu, pasti sekarang dia sudah ke rumahmu, membawakan sebuah cincin perikatan dan beberapa loyang kue ketan manis. Nyatanya mana? Tidak, kan? Sekarang ia menghilang entah diculik janda komplek mana!”

Setelah puas membuat dia galau sampai hampir jam 3 pagi, aku berpamitan untuk menutup telepon, karena saat itu mataku sudah dihinggapi rasa ngantuk yang dalam.

“Ah, kamu malah buat aku galau, Fa. Besok-besok kalau telepon, buat aku ketawa! Pokoknya besok malem wajib telepon aku lagi!”

“Baiklah paduka ratu, sekarang waktunya tidur. Bentar lagi bangun subuh, besok ngajar!”

****
Sambil  melotot tidak senang, aku menyaut lidi bekas tusuk “sate pentol” dari tangannya. Kemudian, aku menghancurkaan tulisan-tulisan aneh yang dibuatnya di tanah. Ya, mataku sepat! Bagiku nama Sofwan, pacar Nila saat itu, adalah nama begundal yang tak jelas arah maksudnya. Dia mempermainkan wanita-wanita yang mencintainya dengan tulus. Yenri Zumala misalnya.

“Hey, paduka ratu! Lebih baik kausimak baik-baik hafalan ayat-ayat ilmu waris yang belum juga kuhapal ini! Sebentar lagi mau setoran mata kuliah Fiqih Mawaris. Jangan sibuk menggalaukan orang yang tak pernah mau mendengar keluhmu!”

Nila memang sering menangis tersebab Sofwan. Bajingan yang tak punya belas itu, membuatku ingin mematahkan lehernya, dan mencincang tititnya hingga menjadi tujuh belas potong. Aku memang tak pernah tahan melihat Nila menangis. Rasanya, nyeri yang kurasa itu seakan menjalar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nila, sahabatku yang tulus mencintainya, malah disiakan begitu saja. Pria semacam itu hanya pantas mendapatkan tulang rusuk di Dolly!! Sayang, dolly udah ditutup.

Saat sibuk menghapal, terlihat segerombolan mahasiswi berseragam biru, berlalu-lalang melintas di depan kami yang sedang duduk bersandar di tiang gedung M. Hafalanku pun hilang seketika melihati mahasiswi jurusan perbankan yang gemar bersolek itu.

“Tuh, kan, kalau lihat cewek cantik, matanya ke mana-mana, hapalannya langsung lupa!” cetus Nila seraya mengerutkan sudut kanan di bibirnya.

“Hey, paduka ratu! Mahasiswi perbankan memang cantik-cantik, ya. Tidak seperti anak jurusan kita yang tak pernah becus bersolek. Bisanya cuma ngaji dan pegang kalkulator!!! Hahahaha…” gurauku.

**** 
Bersambung…. 

Minggu, 13 Juli 2014

Front Pembela Cinta

Oleh: Ketua Umum FPC (Front Pembela Cinta).

Beberapa waktu yang lalu, saya sedang asyik menonton kartun kesukaan saya, Masya and The Bear. Biasa lah, cowok gagah sangar seperti saya memang harus suka nonton kartun cewek, biar gak terlalu dianggap galak. Setelah ada jeda iklan, saya iseng untuk membuka akun Fesbuk. Tetiba, saya geli melihat status seorang cewek, yang ternyata (menurut saya) lebih absurd dari status-status sesat yang biasa saya tulis. Kira-kira tulisannya begini, “Cewek itu sebenarnya gak matre, tapi pengen masa depannya jelas, untuk dia dan anak-anaknya, realistis kan?”. Bagi saya, status demikan adalah racun yang dianggap benar oleh sebagian cewek. Maka, wajib saya luruskan dan cari penawarnya. *Uhukk*

-Nah, di mana letak absurdnya? Mari kita bahas dengan hati, bukan emosi.

Cewek yang berprinsip kayak gitu, mungkin disebabkan;
1. Dia pemuja uang yang tak bisa hidup kecuali dengan harta berkecukupan.
2. Dia wanita lemah yang tak berpotensi memiliki masa depan jelas dan berharap menggantungkan masa depan jelas dari orang lain.
3. Dia lupa bahwa Tuhan bisa merubah seorang kaya menjadi sangat miskin.
4. Dia gak pernah merasakan cinta, Ini lebih berbahaya.
5. Dia belum baca tulisan ini. (Ya iya, lah!)

Sebagai ketua umum dari ormas FPC (Front Pembela Cinta) beraliran cinta garis keras, yang bertugas memurnikan segala bentuk penyimpangan ajaran cinta dengan semurni-murninya, saya tersinggung dengan statement tersebut. Bahkan, saya sarankan buat sebagian cewek yang tidak pernah mengerti makna cinta tersebut menjadi budak seorang raja, biar dia tercukupi biaya hidupnya dan hanya menjadi pelampiasan seksual sebagai tempat pembuangan zigot, tanpa merasakan arti cinta.

Cewek yang berotak kosong kayak simpanse Zimbabwe itu mungkin gak sadar, bahwa apa yang dia katakan; “pengen jelas masa depannya” itu, adalah bukti bahwa dia hanya memikirkan kesenangan, kesejahteraan dan kecukupan. Dia gak mau susah? YA BENAR! Di otaknya cuma ada harta, harta dan uang. Dia sangat takut hidup susah.

Dia akan berhenti mencintai kita, (misalnya) jika tiba-tiba kita sebagai kekasih dan suaminya, tersebab suatu musibah menjadi lumpuh dan tak berdaya di rumah sakit, bahkan koma dan tak bisa mencari nafkah! Coba deh pikir, jika suatu saat suami yang dianggap ber-kriteria masa-depan jelas itu tetiba mulai bangkrut dari usahanya, karirnya, atau pekerjaannya, mungkin cewek itu bakal nangis-nangis salto dengan kecepatan cahaya, karena ngerasa kehilangan tujuan awalnya; yaitu “masa depan jelas”. Atau bahkan, cewek simpanse yang gak pernah makan pisang itu bakalan menceraikan suaminya, dan mencari kejelasan lain (red: pria kaya bodoh lain).

Bisa juga, suatu saat, (misal) kamu cowok kaya-raya, tetiba karena ada kutil stadium 4 di tititmu, dokter menyatakan harus dioperasi. Kemudian gagal dan akhirnya kamu meninggal, si cewek simpanse itu tidak akan sedih. Malah dia bahagia. Karena apa? Dia sudah bahagia dengan “harta warisan” yang kamu miliki sebagai tujuannya. Cewek berjenis bekantan Kalimantan kayak gitu, gak pantes buat kita pertahanin, Sob! Bahkan dia, bisa mudah dibeli dengan kata “kesejahteraan”. Mereka hanya pelacur kehidupan yang berusaha berjudi di meja Tuhan, tanpa sadar bahwa Tuhan-lah bandar utama yang maha berkuasa menentukan takdir makhluk ciptaanya.

Tak semua cewek sih. Mungkin hanya cewek sakit yang akan berprinsip rendahan seperti itu. Tapi, tenang, Bro, banyak cewek sehat kok. Mereka bakalan bilang, “Aku akan tetap bersama pria yang kucinta dalam keadaan apa pun, dan memantaskan diri sebagai masa depannya. Karena akulah masa depannya, dan dialah masa depanku!”. Cewek yang bisa merasakan arti cinta, gak pernah peduli dengan kekurangan kekasihnya. Mau kaya kek, miskin kek, ganteng kek, jelek kek, keteknya bau kek, kalau tidur ngoroknya kayak babi disodomi kek, mereka ngga’ bakalan peduli! Bagi mereka (cewek sehat); duit bisa dicari, tapi cinta tak bisa dibeli. Karna hanya cinta seorang pelacur yang bisa dibeli. Itu pun bukan “dasar” sesungguhnya dari cinta, tapi sudah ditambah dengan imbuhan ber- (read: bercinta).

Itu kan mengutip kata-kata Mario Teguh?

Ya, benar, kalimat itu termasuk motivasi dari Mario Teguh kepada para pria, agar lebih semangat bekerja. Tapi, sekali lagi, itu adalah kapasitas dia sebagai motivator, untuk memotivasi pria. Menjadi sangat menggelikan ketika kata-kata itu menjadi pegangan, dalih, atau bahkan prinsip hidup seorang wanita untuk mencari suami.

Banyak yang terdogma oleh kalimat yang sebetulnya bukan untuk kaum hawa tersebut. Ingat, jangan me-Nabikan Mario Teguh. Kalimat yang keluar dari mulutnya bukan wahyu Tuhan yang harus kita sucikan untuk prinsip dan pedoman. Beberapa perlu kita kritisi. Cinta itu memang tentang sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Cinta juga tentangketidak-realistis-an. Realistis hanya berada di ranah akal dan logika, sedangkan cinta itu tak bisa dirasa dengan logika, karena hati yang berbicara. Pernah gak, suatu ketika kamu merasakan perasaan gelisah, senang, sedih, rindu, bahagia, yang kesemuanya tercampur aduk menjadi satu? Logikanya di mana ketika tiba-tiba kamu sangat takut kehilangan seseorang, padahal saat itu sangat banyak yang bersiap menjadi sandaranmu? Hah? Tak bisa dicerna dengan logika, kan? Apa kamu belum pernah merasakannya? Ciyan…

Cinta juga tak akan pernah bisa menjawab alasan. Saat ditanya “Apa alasanmu mencintainya?” dan kamu bisa menjawab, “karena dia cantik”, maka saya bisa pastikan itu BUKAN CINTA, karena cinta tak mengenal alasan. Bisa dipastikan, bahwa orang yang benar-benar jatuh cinta itu tak akan bisa mengutarakan alasannya. Alasan yang paling tepat mengapa mencintai seseorang itu adalah “cinta” itu sendiri. Semoga kita dijauhkan dari wanita berjenis simpanse (simpanan) tersebut. Masih banyak kok wanita sehat yang paham arti cinta. Saya yakin.

Nah, omong kosong saya di atas adalah untuk menyadarkan para pria, supaya berhati-hati dalam menentukan pilihan. Jangan sampai saya mendengar kalian ditinggalkan wanita berhati busuk yang hanya mencintai masa depanmu, bukan kamu.

Padahal, cewek juga gak mau, kan, seandainya dicintai seorang cowok hanya karena kecantikannya atau hanya karena teteknya sebesar pepaya Bosnia. Nah, kalau tiba-tiba ada Masha dan beruangnya lagi kejar-kejaran dan mereka gak sengaja nyenggol botol air keras dan tumpah ke wajahmu? Terus wajahmu rusak dan kebakar, tetekmu mengkerut, kemudian cowokmu menjadi kehilangan tujuan awalnya; yaitu fisikmu, maka dia pasti akan mundur teratur meninggalkanmu dan mencari cewek yang lebih cantik lainnya, yang lebih besar teteknya. Apa sebagai cewek kamu gak sedih? Hah? Coba deh ikut mikir. Pria juga sama, mereka tak akan mau dicintai karena dianggap bermasa depan bagus. Cintai dia, bukan masa depannya.

Udah ah, cukup sekian kultum hari ini. Maafkan segala kesalahan saya, Masha dan juga beruangnya. Ini hanya ungkapan hati saya sebagai seorang pria bermasa depan tak jelas. Sekian dan terimaciyuman.