***
Wanita ramah bersuara
indah yang mengangkat telepon terdengar takjub begitu mengenali lugatku.
Tentunya, dia pasti tak pernah menyangka akan ditelpon olehku. Sesaat kemudian
dengan suara ramah yang tidak dibuat-buat itu, dia menyapa tanpa ragu,
“Ofaaa!! Ke mana saja
kamu? Sudah hampir setahun ini tak ada kabar! Jahat!” bentaknya dengan
nada yang hampir masih tak percaya bahwa aku, sahabat di kampusnya dulu yang
menelponnya. Aku memilih langsung mengingatkannya dengan warung soto di depan
kampus kami dulu.
“Kamu yang jahat, aku
tunggu di warung soto Pak Mo, tapi kamu tak kunjung datang. Demi apa kamu malah
memarahiku? Hahhh? Hahaha..” balasku dengan tawa yang seakan menumpahkan
kerinduan yang teramat dalam padanya.
Nikmat rasanya bisa
mendengar lagi suara itu. Dia pun turut larut dalam obrolan panjang tentang
masa lalu kami. Tetiba, suaranya melemah saat kucecar beberapa pertanyaan
tentang siapa kekasihnya, atau bahkan siapa calon suaminya sekarang.
Pembicaraannya justru dialihkan ke luar bahasan; tentang beberapa muridnya yang
sering nakal saat diajarnya.
“Eh, Fa, murid-muridku
nakal sekali. Mereka terkadang menggodai dan mengejekku dengan istilah ‘bu guru
cantik, bu guru seksi’. Padahal mereka baru berumur 15 tahun. Cepat sekali
proses pendewasaan remaja sekarang.” Katanya dengan nada sebal.
“Ah, sudahlah, jangan
mengalihkan pembicaraan. Toh juga kamu emang cantik, kan? Hahahaha…” ledekku,
sambil membayangkan barisan gigi putihnya yang berderet rapi, seperti barisan
santri di pondok kami dahulu saat dihukum karna terlambat pergi ke aula untuk
mengaji kitab Tafsir.
“Fa, sekarang aku mau
dijodohin sama abahku, sama anak Kyai Wonogiri,” tuturnya dengan intonasi yang
rendah. Seperti not yang keluar dari piano rusak. Aku paham, pertanyaan ini
pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tak bisa diungkapkannya dengan
kata lantang. Dia butuh untuk menenangkan hatinya sejenak.
Nila, dia adalah
sahabatku saat berburu ilmu di kampus ijo dulu. Hampir setahun lalu kami
berpisah, karena kita harus boyongan ke rumah masing-masing sesaat setelah
ceremonial wisuda kami. Aku pun terlalu sibuk menyelesaikan deadline dari
redaktur untuk mengirimkan beberapa hasil liputan. Itu kuceritakan padanya,
sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah memberi kabar,
bahkan cuma sekedar menelponnya sejak itu.
”Jadi sekarang apa yang
membuatmu gundah? Dia kan “gus”,
sangat cocok untukmu yang juga produk dari orang alim dan sholeh?”
”Kebelumsiapan untuk
menikah.”
”Ah Bohong! Kalau ini
hanya soal belum siap, tak perlu kau sesedih itu. Beri saja waktu setahun atau
dua tahun lagi, sampai kau siap!” cecarku sambil sesedikit tertawa.
Aku tersenyum. Hanya
sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur lagi
seperti desingan peluru-peluru yang ditembakkan oleh densus 88 pada terduga
teroris di Batang tahun lalu.
Lama tak bersua, mau
tidak mau aku membongkar-bongkar kembali kenangan kami yang sempat tertimbun
oleh jarak dan waktu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu,
selalu lekat di ingatanku. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan aku yakin rasa
yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas
jauh lebih tulus dan setia daripadaku.
Dulu, pernah pada suatu
siang, aku berada di perpustakaan pusat, memerhatikannya mengobrak-abrik rak
buku, mencari beberapa referensi tugas untuk presentasi kelompok kami. Nomor
urut absen Nila yang tepat di bawahku, memaksa kami untuk selalu bersekelompok.
Setelah duduk, setumpuk buku filsafat dan sebotol teh dingin bersedotan dua,
yang menjadi pelega haus kami digeletakkan di atas meja. Saking seriusnya, dahi
yang putih bersih tanpa polesan bedak itu hampir seluruhnya berkerut. Mata yang
sedikit sipit namun cukup tajam itu pun dengan beringas bergerak naik turun
menyapu semua halaman buku, membaca teks-teks literatur arab itu. Beberapa
jengkal di sampingnya, aku terduduk santai meletakkan punggungku di sandaran
kursi, menyumpal kedua telingaku dengan hedset dan music keras, dan menaikkan
kaki kiriku sambil bermain-main dengan dua pulpen yang kugerakkan layaknya
menggebuk drum.
Bagaimana tidak, dia
sosok sahabat yang nyaris sempurna. Sifat ikhlas, membuat dia tak pernah merasa
‘dimanfaatkan’ olehku. Beda denganku, aku hanya seorang sahabat yang hanya bisa
tetap berada di sampingnya, berusaha mengusap kesedihannya dengan
lemparan-lemparan joke yang
sedikit banyak mampu membuat tawanya melepas. Katanya, hanya akulah orang yang
tak pernah kehabisan cara membuatnya melupakan segala kesedihannya. Saat-saat
seperti itulah yang selalu kurindukan. Ditambah suara merdunya saat melafalkan
ayat-ayat Tuhan tanpa menengok sedetik pun ke al-Quran yang dipeganngnya.
Hampir setiap hari kita bertemu dalam kelas dan jam yang sama. Mungkin Itulah
yang memaksa kita semakin dekat.
“Ya, benar katamu. Aku
masih meridukan ‘dia’. Tanpa aku cerita, kamu pasti tau lah… “
“Sudahlah, tak usah
kauridukan begundal Sofwan itu. Dia hanya sosok ‘banci’ yang mencoba
kau-pria-kan. Kalau dia benar mencintaimu, pasti sekarang dia sudah ke rumahmu,
membawakan sebuah cincin perikatan dan beberapa loyang kue ketan manis.
Nyatanya mana? Tidak, kan? Sekarang ia menghilang entah diculik janda komplek
mana!”
Setelah puas membuat dia
galau sampai hampir jam 3 pagi, aku berpamitan untuk menutup telepon, karena
saat itu mataku sudah dihinggapi rasa ngantuk yang dalam.
“Ah, kamu malah buat aku
galau, Fa. Besok-besok kalau telepon, buat aku ketawa! Pokoknya besok malem
wajib telepon aku lagi!”
“Baiklah paduka ratu,
sekarang waktunya tidur. Bentar lagi bangun subuh, besok ngajar!”
****
Sambil melotot
tidak senang, aku menyaut lidi bekas tusuk “sate
pentol” dari tangannya. Kemudian, aku menghancurkaan
tulisan-tulisan aneh yang dibuatnya di tanah. Ya, mataku sepat! Bagiku nama
Sofwan, pacar Nila saat itu, adalah nama begundal yang tak jelas arah
maksudnya. Dia mempermainkan wanita-wanita yang mencintainya dengan tulus.
Yenri Zumala misalnya.
“Hey, paduka ratu! Lebih
baik kausimak baik-baik hafalan ayat-ayat ilmu waris yang belum juga kuhapal
ini! Sebentar lagi mau setoran mata kuliah Fiqih Mawaris. Jangan sibuk menggalaukan
orang yang tak pernah mau mendengar keluhmu!”
Nila memang sering
menangis tersebab Sofwan. Bajingan yang tak punya belas itu, membuatku ingin
mematahkan lehernya, dan mencincang tititnya hingga menjadi tujuh belas potong.
Aku memang tak pernah tahan melihat Nila menangis. Rasanya, nyeri yang kurasa
itu seakan menjalar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nila, sahabatku yang
tulus mencintainya, malah disiakan begitu saja. Pria semacam itu hanya pantas
mendapatkan tulang rusuk di Dolly!!
Sayang, dolly udah ditutup.
Saat sibuk menghapal,
terlihat segerombolan mahasiswi berseragam biru, berlalu-lalang melintas di
depan kami yang sedang duduk bersandar di tiang gedung M. Hafalanku pun hilang
seketika melihati mahasiswi jurusan perbankan yang gemar bersolek itu.
“Tuh, kan, kalau lihat
cewek cantik, matanya ke mana-mana, hapalannya langsung lupa!” cetus Nila
seraya mengerutkan sudut kanan di bibirnya.
“Hey, paduka ratu!
Mahasiswi perbankan memang cantik-cantik, ya. Tidak seperti anak jurusan kita
yang tak pernah becus bersolek. Bisanya cuma ngaji dan pegang kalkulator!!!
Hahahaha…” gurauku.
****
Bersambung….