Jumat, 15 Agustus 2014

Surat Terbuka untuk Kakanda Shilahuddistira



Selamat malam, Kanda. Salam rindu dari adikmu ini yang selalu lebih pandai darimu dalam urusan cinta. Maaf, aku baru sempat mengirim surat kepadamu semenjak aku pulang dari Semarang, tepat seminggu yang lalu. Keterlambatan suratku ini juga disebabkan karena merpati-merpati kerajaan kita yang mati berjatuhan di perjalanan. Menurut laporan yang aku terima, mereka jatuh karena mengalihkan pandangannya kepada wanita-wanita ber-jilboobs di Negara tempatmu ber-wisuda.

Setiap kali merpatiku hampir sampai di kontrakan lusuhmu, mereka terbelalak dengan wanita-wanita yang dadanya terlihat menyembul. Padahal, untuk menghatarkan surat ini ke Semarang, aku tugaskan 10 merpati paling kuat di Hastinapura, kerajaan kita. Aku juga telah mengijinkan mereka kalau-kalau ingin mampir istirahat di Sunan Kuning, untuk sekedar karaoke dan minum sebotol Vodka. Tapi entah mengapa, mereka lebih terbelalak dengan jilboobs, daripada pelacur yang sering ngangkang di pinggiran jalan sekitar Poncol dan Tawang itu.

Ah, sudahlah, Kanda, yang penting sekarang surat ini telah sampai kepadamu. Walaupun kondisi kertasnya compang-camping, tapi tintanya tidak luntur, kan? Tidak mungkin dong, Kanda.. Kerajaan kita punya percetakan surat yang canggih, tak mungkin luntur seperti tinta fotokopian Prabu Burhan, sahabatmu di Semarang itu yang juga dulunya mahapatih di kerajaan Kaliampo.

Maaf juga, Kanda, kemarin aku tak bisa berlama-lama menemanimu ber-euphoria di sana, karna ada beberapa kegiatan yang harus kulakukan di Singgasana kerajaan kita. Aku juga sedang sibuk blusukan, tapi ternyata aku lupa, bahwa tak ada orang miskin di Astinapura. Semuanya makmur. Astina juga baru saja melakukan pemilihan “Miss Hastinapura dan Kontes Muslimah Astina”. Aku berharap, saat nanti kanda pulang ke Astinapura, Kanda bisa memilih salah satu dari mereka untuk dijadikan selir. Kanda tak perlu membawakan aku kakak ipar dari Semarang. Mereka semua tak lebih cantik dari budak-budak wanita di Astinapura. Tak perlu kanda mengejar cinta mereka. Apalagi sampai sedih berlarut karna mereka menolak cinta suci Kanda. Mereka hanya tidak tau betapa berwibawanya Kanda di Astina.

Oh iya Kanda, saat merokok dan ngopi berdua kemarin, di dekat menara BSB Semarang yang tak lebih bagus dari tempat leyeh-leyeh budak kita, aku tak sengaja melihat gelembung perutmu yang mulai berlapis tiga. Sepertinya, kau sangat makmur dan menikmati hidup sederhana di kontrakan tua depan LP Kedungpane, Jl. Semarang-Boja itu. Sebenarnya, bukan fisikmu yang kusesalkan, tapi bahasa Inggrismu yang mulai berantakan. Aku ingat betul saat maksudmu mengataiku “bodoh bukan main!”, kau malah bilang ‘Stupid doesn’t play!’. Kanda, kamu ini kenapa? Saat Astinapura sudah lancar berbahasa Korea, Jepang, China, Italia, German dan Perancis, bahasa inggrismu malah keteteran. Tapi, tak apalah Kanda, Inggris itu bekas jajahan Astinapura, tak perlu kita pelajari bahasanya yang rendahan itu. Kita harus pede dengan Bahasa Resmi Astinapura.

Kanda, aku sebenarnya mau curhat, semenjak Kanda Prabu telah dibaptis oleh Santo agung sebagai wisudawan terbaik, kerajaan kita menjadi morat-marit. Entah apa penyebabnya. Mungkin Kanda harus segera ber-syahadat lagi. Banyak wanita ber-jilboobs yang meniru-niru cara berpakaian kaum rendahan di Indonesia. Mereka sudah mulai meninggalkan budaya Astinapura yang identik dengan keanggunan kemben bermanik mutiara, sedikit menyembulkan atas dada dan kebaya berbatik emas yang kita produksi dari Majapahit. Rambut hitam panjang terurai indah dengan mahkota emas 300 karat, sudah mulai jarang aku lihat lagi. Omset di Majapahit pun menurun drastis, semenjak para wanita kita sering berbelanja online di Indonesia. Ini akibat kebijakan Kanda ratusan tahun lalu, yang membuat tower-tower internet berkecepatan 1GBps di Astina. Sekarang juga banyak Prajurit kita yang berbelanja senjata online. Padahal, perlengkapan perang Negara lain tak lebih canggih dari punya kita. Pokoknya, setelah Kanda pulang, kita harus menata kembali Astinapura yang mulai mengalami degradasi moral.

***

Oh iya, Kanda. Sebagai mantan senopati agung dalam perang melawan bengisnya rumus ‘Jean Meus’ yang berhasil engkau menangkan itu, hendaknya Kanda jangan merasa puas dengan apa yang Kanda peroleh sekarang. Jadikanlah upacara pembaptisan di Semarang kemarin itu sebagai tahap pertama dalam meraih kembali kejayaan kita. Kejayaan di mana sastra lebih dihormati ketimbang astronomi, kejayaan di mana cinta itu -katamu- tak mengenal untung dan rugi, kejayaan di mana Rahwana sebenarnya mempunyai cinta yang sangat tulus kepada Dewi Sinta.

Kanda, kau pasti pernah mendengar tentang kebengisan Rahwana, si raksasa dari Alengka itu, yang dalam mitologi Hindu dikatakan sebagai makhluk yang dikutuk menjadi –terlihat- jahat karena orang tuanya bercinta di waktu yang tidak tepat. Tapi, sebengis-bengisnya dia saat merampas Alengka, rakyat paling miskin pun diberinya kendaraan dari emas. Tidak ada yang kelaparan seperti di Negara yang sedang kau tempati itu, yang rakyatnya mudah dihasut, diadu-domba dan dibodohi oleh media-media penjajah yang sedang melakukan konspirasi besar. Juga dibodohi media online yang berkedok Agama, namun menebarkan benih-benih kebencian, seperti voa Islam.

Kanda, kita harus belajar banyak tentang cinta dari Rahwana. Menurutku, Rahwana adalah symbol cinta yang paling suci. Dia bengis untuk memperjuangkan cintanya kepada Dewi Sinta. Walaupun kita tahu, Rahwana berjuang untuk mendapatkan cinta dari seseorang yang bahkan tak pernah mau menatap matanya, tak pernah mau digenggam jemarinya. Tapi tetap saja, dia tak mau dibilang ‘berjuang’. Cinta yang membuatnya tak pernah merasa berjuang. Awalnya, aku pikir, itu adalah kebodohan Rahwana. Tapi, ternyata aku harus belajar banyak darinya, dari hati yang tak pernah beralih meskipun cinta tak mampu diraih. Kau harus tau Kanda, bahwa banyak orang bilang Rahwana tak mampu dibunuh, meski tubuhnya dihancurkan sekalipun. Tersebab ilmu rawarontek lah, pancasona lah, atau apa pun itu, hal itu salah kaprah, Kanda. Yang tak mampu dibunuh itu cintanya, bukan nyawanya. Raganya bisa mati, tapi cintanya tetap hidup abadi untuk Dewi Sinta.

***
Wahai Kanda Prabu, aku mendengar selentingan gossip dari ibu-ibu PKK di kerajaan Astina, bahwa Kakanda Prabu mau berhijrah ke kasultanan Yogyakarta. Apakah benar, Kanda? Kalaupun benar, itu membuat sakit hati para janda cantik yang sedang menunggumu pulang ke Astina. Mereka rela menjanda selama 12 semester, berharap nantinya dinikahi oleh Kanda. Siapa yang tidak terpesona dengan kesaktian jurus kamasutra yang kanda punyai. Kedahsyatan ajian ‘berontak ing dalem sempak’ yang sangat kau kuasai, membuat hati para janda itu bergetar saat mendengar nama kanda disebut.

Kalaupun Kanda tidak bisa pulang ke Astina, dan memutuskan menetap di Krapyak, Ngayogyakarta, sebenarnya tidak apa-apa. Aku percaya bahwa Kanda memang sangat dibutuhkan di Krapyak. Ramalan jayabaya mengatakan; bahwa kanda akan menemukan cinta di sana. Segera temukan dia, Kanda. Menikahlah. Perbanyak klan kita, yaitu Kurawa. Kau tau sendiri, Kanda, bahwa pandhawa lima yang sering kita olok-olok sebagai ‘boyband’ di Astina, telah membunuh ratusan Kurawa. Hanya beberapa orang yang tersisa. Kredibilitas dan kapabilitas kanda akan dipertanyakan jika tak mampu memperbanyak klan kita. Sekian surat dariku, Kanda.. Semoga Kanda selalu diberikan kesehatan oleh Sang Hyang, Allah yang maha agung.

Dari adikmu yang jauh lebih ganteng darimu, yang selalu merebut kekasihmu…



Astinapura, 15 August 2014,
Pukul 27.05 WAB (Waktu Astinapura Barat)

Minggu, 20 Juli 2014

Nila, My Beloved Friend

***
Wanita ramah bersuara indah yang mengangkat telepon terdengar takjub begitu mengenali lugatku. Tentunya, dia pasti tak pernah menyangka akan ditelpon olehku. Sesaat kemudian dengan suara ramah yang tidak dibuat-buat itu, dia menyapa tanpa ragu,

“Ofaaa!! Ke mana saja kamu? Sudah hampir setahun ini tak ada kabar! Jahat!”  bentaknya dengan nada yang hampir masih tak percaya bahwa aku, sahabat di kampusnya dulu yang menelponnya. Aku memilih langsung mengingatkannya dengan warung soto di depan kampus kami dulu.

“Kamu yang jahat, aku tunggu di warung soto Pak Mo, tapi kamu tak kunjung datang. Demi apa kamu malah memarahiku? Hahhh? Hahaha..” balasku dengan tawa yang seakan menumpahkan kerinduan yang teramat dalam padanya.

Nikmat rasanya bisa mendengar lagi suara itu. Dia pun turut larut dalam obrolan panjang tentang masa lalu kami. Tetiba, suaranya melemah saat kucecar beberapa pertanyaan tentang siapa kekasihnya, atau bahkan siapa calon suaminya sekarang. Pembicaraannya justru dialihkan ke luar bahasan; tentang beberapa muridnya yang sering nakal saat diajarnya.

“Eh, Fa, murid-muridku nakal sekali. Mereka terkadang menggodai dan mengejekku dengan istilah ‘bu guru cantik, bu guru seksi’. Padahal mereka baru berumur 15 tahun. Cepat sekali proses pendewasaan remaja sekarang.” Katanya dengan nada sebal.

“Ah, sudahlah, jangan mengalihkan pembicaraan. Toh juga kamu emang cantik, kan? Hahahaha…” ledekku, sambil membayangkan barisan gigi putihnya yang berderet rapi, seperti barisan santri di pondok kami dahulu saat dihukum karna terlambat pergi ke aula untuk mengaji kitab Tafsir.

“Fa, sekarang aku mau dijodohin sama abahku, sama anak Kyai Wonogiri,” tuturnya dengan intonasi yang rendah. Seperti not yang keluar dari piano rusak. Aku paham, pertanyaan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tak bisa diungkapkannya dengan kata lantang. Dia butuh untuk menenangkan hatinya sejenak.

Nila, dia adalah sahabatku saat berburu ilmu di kampus ijo dulu. Hampir setahun lalu kami berpisah, karena kita harus boyongan ke rumah masing-masing sesaat setelah ceremonial wisuda kami. Aku pun terlalu sibuk menyelesaikan deadline dari redaktur untuk mengirimkan beberapa hasil liputan. Itu kuceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah memberi kabar, bahkan cuma sekedar menelponnya sejak itu.

”Jadi sekarang apa yang membuatmu gundah? Dia kan “gus”, sangat cocok untukmu yang juga produk dari orang alim dan sholeh?”

”Kebelumsiapan untuk menikah.”

”Ah Bohong! Kalau ini hanya soal belum siap, tak perlu kau sesedih itu. Beri saja waktu setahun atau dua tahun lagi, sampai kau siap!” cecarku sambil sesedikit tertawa.

Aku tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur lagi seperti desingan peluru-peluru yang ditembakkan oleh densus 88 pada terduga teroris di Batang tahun lalu.

Lama tak bersua, mau tidak mau aku membongkar-bongkar kembali kenangan kami yang sempat tertimbun oleh jarak dan waktu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatanku. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan aku yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripadaku.

Dulu, pernah pada suatu siang, aku berada di perpustakaan pusat, memerhatikannya mengobrak-abrik rak buku, mencari beberapa referensi tugas untuk presentasi kelompok kami. Nomor urut absen Nila yang tepat di bawahku, memaksa kami untuk selalu bersekelompok. Setelah duduk, setumpuk buku filsafat dan sebotol teh dingin bersedotan dua, yang menjadi pelega haus kami digeletakkan di atas meja. Saking seriusnya, dahi yang putih bersih tanpa polesan bedak itu hampir seluruhnya berkerut. Mata yang sedikit sipit namun cukup tajam itu pun dengan beringas bergerak naik turun menyapu semua halaman buku, membaca teks-teks literatur arab itu. Beberapa jengkal di sampingnya, aku terduduk santai meletakkan punggungku di sandaran kursi, menyumpal kedua telingaku dengan hedset dan music keras, dan menaikkan kaki kiriku sambil bermain-main dengan dua pulpen yang kugerakkan layaknya menggebuk drum.

Bagaimana tidak, dia sosok sahabat yang nyaris sempurna. Sifat ikhlas, membuat dia tak pernah merasa ‘dimanfaatkan’ olehku. Beda denganku, aku hanya seorang sahabat yang hanya bisa tetap berada di sampingnya, berusaha mengusap kesedihannya dengan lemparan-lemparan joke yang sedikit banyak mampu membuat tawanya melepas. Katanya, hanya akulah orang yang tak pernah kehabisan cara membuatnya melupakan segala kesedihannya. Saat-saat seperti itulah yang selalu kurindukan. Ditambah suara merdunya saat melafalkan ayat-ayat Tuhan tanpa menengok sedetik pun ke al-Quran yang dipeganngnya. Hampir setiap hari kita bertemu dalam kelas dan jam yang sama. Mungkin Itulah yang memaksa kita semakin dekat.

“Ya, benar katamu. Aku masih meridukan ‘dia’. Tanpa aku cerita, kamu pasti tau lah… “

“Sudahlah, tak usah kauridukan begundal Sofwan itu. Dia hanya sosok ‘banci’ yang mencoba kau-pria-kan. Kalau dia benar mencintaimu, pasti sekarang dia sudah ke rumahmu, membawakan sebuah cincin perikatan dan beberapa loyang kue ketan manis. Nyatanya mana? Tidak, kan? Sekarang ia menghilang entah diculik janda komplek mana!”

Setelah puas membuat dia galau sampai hampir jam 3 pagi, aku berpamitan untuk menutup telepon, karena saat itu mataku sudah dihinggapi rasa ngantuk yang dalam.

“Ah, kamu malah buat aku galau, Fa. Besok-besok kalau telepon, buat aku ketawa! Pokoknya besok malem wajib telepon aku lagi!”

“Baiklah paduka ratu, sekarang waktunya tidur. Bentar lagi bangun subuh, besok ngajar!”

****
Sambil  melotot tidak senang, aku menyaut lidi bekas tusuk “sate pentol” dari tangannya. Kemudian, aku menghancurkaan tulisan-tulisan aneh yang dibuatnya di tanah. Ya, mataku sepat! Bagiku nama Sofwan, pacar Nila saat itu, adalah nama begundal yang tak jelas arah maksudnya. Dia mempermainkan wanita-wanita yang mencintainya dengan tulus. Yenri Zumala misalnya.

“Hey, paduka ratu! Lebih baik kausimak baik-baik hafalan ayat-ayat ilmu waris yang belum juga kuhapal ini! Sebentar lagi mau setoran mata kuliah Fiqih Mawaris. Jangan sibuk menggalaukan orang yang tak pernah mau mendengar keluhmu!”

Nila memang sering menangis tersebab Sofwan. Bajingan yang tak punya belas itu, membuatku ingin mematahkan lehernya, dan mencincang tititnya hingga menjadi tujuh belas potong. Aku memang tak pernah tahan melihat Nila menangis. Rasanya, nyeri yang kurasa itu seakan menjalar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Nila, sahabatku yang tulus mencintainya, malah disiakan begitu saja. Pria semacam itu hanya pantas mendapatkan tulang rusuk di Dolly!! Sayang, dolly udah ditutup.

Saat sibuk menghapal, terlihat segerombolan mahasiswi berseragam biru, berlalu-lalang melintas di depan kami yang sedang duduk bersandar di tiang gedung M. Hafalanku pun hilang seketika melihati mahasiswi jurusan perbankan yang gemar bersolek itu.

“Tuh, kan, kalau lihat cewek cantik, matanya ke mana-mana, hapalannya langsung lupa!” cetus Nila seraya mengerutkan sudut kanan di bibirnya.

“Hey, paduka ratu! Mahasiswi perbankan memang cantik-cantik, ya. Tidak seperti anak jurusan kita yang tak pernah becus bersolek. Bisanya cuma ngaji dan pegang kalkulator!!! Hahahaha…” gurauku.

**** 
Bersambung…. 

Minggu, 13 Juli 2014

Front Pembela Cinta

Oleh: Ketua Umum FPC (Front Pembela Cinta).

Beberapa waktu yang lalu, saya sedang asyik menonton kartun kesukaan saya, Masya and The Bear. Biasa lah, cowok gagah sangar seperti saya memang harus suka nonton kartun cewek, biar gak terlalu dianggap galak. Setelah ada jeda iklan, saya iseng untuk membuka akun Fesbuk. Tetiba, saya geli melihat status seorang cewek, yang ternyata (menurut saya) lebih absurd dari status-status sesat yang biasa saya tulis. Kira-kira tulisannya begini, “Cewek itu sebenarnya gak matre, tapi pengen masa depannya jelas, untuk dia dan anak-anaknya, realistis kan?”. Bagi saya, status demikan adalah racun yang dianggap benar oleh sebagian cewek. Maka, wajib saya luruskan dan cari penawarnya. *Uhukk*

-Nah, di mana letak absurdnya? Mari kita bahas dengan hati, bukan emosi.

Cewek yang berprinsip kayak gitu, mungkin disebabkan;
1. Dia pemuja uang yang tak bisa hidup kecuali dengan harta berkecukupan.
2. Dia wanita lemah yang tak berpotensi memiliki masa depan jelas dan berharap menggantungkan masa depan jelas dari orang lain.
3. Dia lupa bahwa Tuhan bisa merubah seorang kaya menjadi sangat miskin.
4. Dia gak pernah merasakan cinta, Ini lebih berbahaya.
5. Dia belum baca tulisan ini. (Ya iya, lah!)

Sebagai ketua umum dari ormas FPC (Front Pembela Cinta) beraliran cinta garis keras, yang bertugas memurnikan segala bentuk penyimpangan ajaran cinta dengan semurni-murninya, saya tersinggung dengan statement tersebut. Bahkan, saya sarankan buat sebagian cewek yang tidak pernah mengerti makna cinta tersebut menjadi budak seorang raja, biar dia tercukupi biaya hidupnya dan hanya menjadi pelampiasan seksual sebagai tempat pembuangan zigot, tanpa merasakan arti cinta.

Cewek yang berotak kosong kayak simpanse Zimbabwe itu mungkin gak sadar, bahwa apa yang dia katakan; “pengen jelas masa depannya” itu, adalah bukti bahwa dia hanya memikirkan kesenangan, kesejahteraan dan kecukupan. Dia gak mau susah? YA BENAR! Di otaknya cuma ada harta, harta dan uang. Dia sangat takut hidup susah.

Dia akan berhenti mencintai kita, (misalnya) jika tiba-tiba kita sebagai kekasih dan suaminya, tersebab suatu musibah menjadi lumpuh dan tak berdaya di rumah sakit, bahkan koma dan tak bisa mencari nafkah! Coba deh pikir, jika suatu saat suami yang dianggap ber-kriteria masa-depan jelas itu tetiba mulai bangkrut dari usahanya, karirnya, atau pekerjaannya, mungkin cewek itu bakal nangis-nangis salto dengan kecepatan cahaya, karena ngerasa kehilangan tujuan awalnya; yaitu “masa depan jelas”. Atau bahkan, cewek simpanse yang gak pernah makan pisang itu bakalan menceraikan suaminya, dan mencari kejelasan lain (red: pria kaya bodoh lain).

Bisa juga, suatu saat, (misal) kamu cowok kaya-raya, tetiba karena ada kutil stadium 4 di tititmu, dokter menyatakan harus dioperasi. Kemudian gagal dan akhirnya kamu meninggal, si cewek simpanse itu tidak akan sedih. Malah dia bahagia. Karena apa? Dia sudah bahagia dengan “harta warisan” yang kamu miliki sebagai tujuannya. Cewek berjenis bekantan Kalimantan kayak gitu, gak pantes buat kita pertahanin, Sob! Bahkan dia, bisa mudah dibeli dengan kata “kesejahteraan”. Mereka hanya pelacur kehidupan yang berusaha berjudi di meja Tuhan, tanpa sadar bahwa Tuhan-lah bandar utama yang maha berkuasa menentukan takdir makhluk ciptaanya.

Tak semua cewek sih. Mungkin hanya cewek sakit yang akan berprinsip rendahan seperti itu. Tapi, tenang, Bro, banyak cewek sehat kok. Mereka bakalan bilang, “Aku akan tetap bersama pria yang kucinta dalam keadaan apa pun, dan memantaskan diri sebagai masa depannya. Karena akulah masa depannya, dan dialah masa depanku!”. Cewek yang bisa merasakan arti cinta, gak pernah peduli dengan kekurangan kekasihnya. Mau kaya kek, miskin kek, ganteng kek, jelek kek, keteknya bau kek, kalau tidur ngoroknya kayak babi disodomi kek, mereka ngga’ bakalan peduli! Bagi mereka (cewek sehat); duit bisa dicari, tapi cinta tak bisa dibeli. Karna hanya cinta seorang pelacur yang bisa dibeli. Itu pun bukan “dasar” sesungguhnya dari cinta, tapi sudah ditambah dengan imbuhan ber- (read: bercinta).

Itu kan mengutip kata-kata Mario Teguh?

Ya, benar, kalimat itu termasuk motivasi dari Mario Teguh kepada para pria, agar lebih semangat bekerja. Tapi, sekali lagi, itu adalah kapasitas dia sebagai motivator, untuk memotivasi pria. Menjadi sangat menggelikan ketika kata-kata itu menjadi pegangan, dalih, atau bahkan prinsip hidup seorang wanita untuk mencari suami.

Banyak yang terdogma oleh kalimat yang sebetulnya bukan untuk kaum hawa tersebut. Ingat, jangan me-Nabikan Mario Teguh. Kalimat yang keluar dari mulutnya bukan wahyu Tuhan yang harus kita sucikan untuk prinsip dan pedoman. Beberapa perlu kita kritisi. Cinta itu memang tentang sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Cinta juga tentangketidak-realistis-an. Realistis hanya berada di ranah akal dan logika, sedangkan cinta itu tak bisa dirasa dengan logika, karena hati yang berbicara. Pernah gak, suatu ketika kamu merasakan perasaan gelisah, senang, sedih, rindu, bahagia, yang kesemuanya tercampur aduk menjadi satu? Logikanya di mana ketika tiba-tiba kamu sangat takut kehilangan seseorang, padahal saat itu sangat banyak yang bersiap menjadi sandaranmu? Hah? Tak bisa dicerna dengan logika, kan? Apa kamu belum pernah merasakannya? Ciyan…

Cinta juga tak akan pernah bisa menjawab alasan. Saat ditanya “Apa alasanmu mencintainya?” dan kamu bisa menjawab, “karena dia cantik”, maka saya bisa pastikan itu BUKAN CINTA, karena cinta tak mengenal alasan. Bisa dipastikan, bahwa orang yang benar-benar jatuh cinta itu tak akan bisa mengutarakan alasannya. Alasan yang paling tepat mengapa mencintai seseorang itu adalah “cinta” itu sendiri. Semoga kita dijauhkan dari wanita berjenis simpanse (simpanan) tersebut. Masih banyak kok wanita sehat yang paham arti cinta. Saya yakin.

Nah, omong kosong saya di atas adalah untuk menyadarkan para pria, supaya berhati-hati dalam menentukan pilihan. Jangan sampai saya mendengar kalian ditinggalkan wanita berhati busuk yang hanya mencintai masa depanmu, bukan kamu.

Padahal, cewek juga gak mau, kan, seandainya dicintai seorang cowok hanya karena kecantikannya atau hanya karena teteknya sebesar pepaya Bosnia. Nah, kalau tiba-tiba ada Masha dan beruangnya lagi kejar-kejaran dan mereka gak sengaja nyenggol botol air keras dan tumpah ke wajahmu? Terus wajahmu rusak dan kebakar, tetekmu mengkerut, kemudian cowokmu menjadi kehilangan tujuan awalnya; yaitu fisikmu, maka dia pasti akan mundur teratur meninggalkanmu dan mencari cewek yang lebih cantik lainnya, yang lebih besar teteknya. Apa sebagai cewek kamu gak sedih? Hah? Coba deh ikut mikir. Pria juga sama, mereka tak akan mau dicintai karena dianggap bermasa depan bagus. Cintai dia, bukan masa depannya.

Udah ah, cukup sekian kultum hari ini. Maafkan segala kesalahan saya, Masha dan juga beruangnya. Ini hanya ungkapan hati saya sebagai seorang pria bermasa depan tak jelas. Sekian dan terimaciyuman.

Selasa, 10 Juni 2014

Turunkan Kriteria, atau Jomblo Selamanya!

Memang, pepatah mengatakan Never Give Up! jangan pernah menyerah! Tetapi, terkadang kata ‘menyerah’ merupakan pilihan terbaik, karena kita sadar, bahwa kita sedang membuang-buang waktu.

***
Beberapa waktu lalu, saya dicurhati seorang teman lama. Dia menceritakan tentang PDKT-nya yang selalu gagal, tak pernah berhasil. Bahkan, selalu ditolak sebelum menembak. Pokoknya, dicuekin abis lah…

“Fa, aku PDKT sama perawat puskesmas, gak ditanggepin. Sama pramugari ‘Lion Armpit’, juga dicuekin. Aku harus gimana?”

Yap, lagi-lagi ada temen yang curhat tentang permasalahan cintanya. Kemarin juga pernah, temen dari Surabaya yang ingin PDKT sama seorang cewek, dia juga bertanya dan meminta saran. Dia gak sadar, bahwa dia sedang bercurhat dan meminta solusi dengan orang yang salah. Sebagai pakar ditolak, saya pasti memberi beberapa tips yang sangat tidak bermanfaat bagi dia.

“Gini, Broh. Udah berapa lama PDKT-nya?” tanya saya.

“Hampir satu tahun. Bahkan, lebih..” jelasnya.

“Wow.. Lama juga, ya?” saya terkagum. Terkagum betapa bodohnya dia. Bahkan, bagi beberapa orang, waktu setahun sangat cukup untuk berganti pacar 2-3 kali. “Terus, gimana tanggepannya, Bro?” saya bertanya lagi.

“Ya tetep, masih cuek,” jawabnya dengan muka agak kusut.

“Mungkin dia gak tertarik sama kamu, Bro. Cari yang lain aja. Simpel, kan?” sesaat, setelah dia memberi waktu saya untuk menyulut sebatang rokok, dia kembali melanjutkan.

“Masalahnya itu, bro, terlalu sulit untuk mencari lagi…” katanya dengan sedikit memelas.“Carikan pacar dong, Fa…”

Saya kurang percaya jika dia kesulitan mencari pacar, sedangkan dia gak jelek-jelek amat. Walaupun taraf kegantengannya jauh di bawah saya (jika dilihat dari mata nenek-nenek katarak). Dia gak terlalu jelek untuk seorang cowok berumur 20 tahun. Apalagi, dia anak band yang digandrungi cewek-cewek, cabe-cabean, kimcil, kuntilanak, wewe gombel dan sejenisnya.

Dalam permasalahan ini, mungkin teman saya harus memakai konsep “kafa’ah”, sesuai saran Nabi Muhammad SAW. Apa itu “kafa’ah”Kafaah menurut bahasa adalah kesetaraan/keseimbangan. Intinya, ya, antara cowok dan cewek itu setara (cari aja di google). Jika kriteriamu ketinggian, coba diturunkan, jika terlalu rendah, tinggikan. Sampai menuju kata setara, pas, cocok, dan akhirnya membuatmu nyaman.

Saya juga menceritakan pengalaman saya dahulu kepada dia, teman saya. Pernah, saya suka dengan seorang cewek (iya lah, saya gak homo kok..), dia anak pengusaha kaya, kuliah kedokteran di salah satu perguruan tinggi di Jogja. Sebut saja namanya Mawar (kok kayak insert investigasi ya?). Waktu itu saya minder. Saya hanya anak seorang pedagang di pasar, yang kebetulan dapet beasiswa kuliah. Seandainya gak dapet beasiswa, mungkin saya gak kuliah waktu itu.

Pendeknya, saya nekat jadian denganya. Mungkin waktu itu, saya terobsesi dengan lagu jadul yang selalu diputar sahabat saya, Idris, bahwa cinta tak mengenal kasta (saya lupa judulnya apa, pokoknya liriknya ada kalimat itu, deh..) Lalu, entah mata si Mawar kecolok sendok di warung mana, dia menerima cinta saya. 
“aku pengen kamu yang terakhir, Fa. Udah bosan disakitin,” katanya sambil menatapku dalam-dalam. 

Entahlah, setiap orang akan mengatakan hal bullshit itu kepada pacar barunya, tanpa disadari, telah banyak orang yang selalu dianggap terakhir; kini menjadi masa lalunya. Atau mungkin ada istilah ‘terakhir dari yang terakhir, terakhir sebelum terakhir, atau terakhir yang paling akhir’? Entahlah..

“Mawar, kita jalanin aja dulu, urusan terakhir atau enggak, nanti aja. Yang penting kamu nyaman dulu,” jawabku menyadarkan kekacauan hatinya. Mungkin beberapa orang menganggap saya bodoh, tolol, karna tidak memberi ketegasan kepada cewek secantik dan se-perfect dr. Mawar. Tapi, alasanku berkata demikian adalah untuk ‘mengantisipasi terjadinya konflik yang akan timbul karena perbenturan status’ (bukan konspirasi kemakmuran, loh, ya!). Lagian, saya nembak dia, saat dia dalam kondisi sangat ‘lemah’, karna habis putus sama cowoknya.

Tau sendiri, kan? Cewek saat sedang galau-galaunya, pikiran dan hatinya pasti kacau. Dengan dalih mengobati perih, berpura-pura menyodorkan bahu untuk bersandar, saya dengan mudah masuk ke hatinya. Nancep. Dia gak mau ditinggalin waktu itu. Nah, antisipasi saya apa? ‘KETIKA DIA SADAR, SAYA HARUS SIAP DIPUTUSIN!’.

Singkat cerita aja, setelah dr. Mawar sadar sedang berpacaran dengan batu nisan, dia memutuskan untuk menyudahi hubungan kami. Sekarang dr. Mawar ambil S2 di luar negeri (ini serius) dan saya, ambil es lilin di kulkas tetangga.

Makanya, konsep kafa’ah itu penting untuk menyadarkan kita. Saya, sebagai batu kali, gak sepantasnya bersanding dengan batu permata Zhaphire seperti dr. Mawar. Saya yang kuliah cari gratisan, gak sepantasnya dengan yang kuliah di jurusan kedokteran.

Cinta dan wanita bukan ‘cita-cita’ yang harus kita gapai walau setinggi langit. Cinta juga bukan ilmu yang harus kita tuntut sampai ke negeri China. Melihat cinta, tak harus mendongak jauh ke atas. Lihatlah di samping kita, di sekeliling kita, banyak yang lebih nyaman untuk kita rangkul, dan untuk kita berikan bahu sebagai sebuah sandaran. Jika kriteriamu terlalu tinggi, turunkan. Jika kriteriamu terlalu rendah, sejajarkan. 

Ikhlaskan kriteria tinggimu untuk orang sepadan yang dapat membahagiakannya. Jangan kaubuang waktumu untuk mengejar kriteria yang tak pernah meng-kriteria-kan kamu sebagai pendampingnya. Cintailah orang yang memungkinkan dia mencintaimu, Tuan Muda!

Jika dirimu berada di posisi yang tak sepadan, jangan paksakan. Sendal ukuran anak kecil, tak mungkin berjalan seirama dengan sandal ukuran dewasa, kan? Bukan merendahkan, tetapi anak Abu Rizal Bakrie memang gak pantes dengan anak satpam Matahari, kanIt’s okay, jika kalian saling mencintai, tak ada yang salah. Sepadan pun, kalau dia udah gak kasih sinyal, percuma juga, tinggalkan! Cari yang lain, Tuan Muda! Apa mau, seumur hidup, masa depan panjangmu kauhabiskan demi mengejar orang yang tak pernah sedikit pun membalas SMS-mu itu? Think again...

Namun, jika kau sanggup, kejarlah, Kawan! Karna cinta tak akan terbendung oleh logika, termasuk saran saya… :D

Sekian dan terimaciyuman…