Malam itu, adalah malam puncak dari segala
kegalauanku. Rani, pacar yang selama ini kucinta, ternyata sedang
asyik berduaan dengan Toni, kekasih barunya, tepatnya selingkuhannya. Jujur,
aku bingung harus mengatakan apa. Hatiku masih bertanya, sebenarnya Toni
selingkuhan Rani, atau aku yang menjadi selingkuhannya Rani?
Berawal dari episode Ganteng-Ganteng Serigala sebelumnya,
yaitu ketidakpercayaanku dengan nasehat temanku untuk menjauhi Rani.
“Dia sudah punya pacar, Fa! Rani itu
“Player”, hati-hati!” kata temanku, namanya Rian. Dia selalu meyakinkanku.
Tapi, aku tetap bersikukuh dengan pendirianku, bahwa ketika aku tidak melihat
sendiri, aku tak percaya. Karena nasehat yang salah dari teman bisa
menghancurkan suatu hubungan.
“Apa kubilang, Fa? Rani player, kan? Cocok buat muter DVD,” Rian malah mengejekku
penuh bangga.
“Anjrit….” Kata-kata bijak selalu keluar
dari mulutku, seiring dengan hembusan asap rokok yang menjuntai ke udara. Aku
masih tidak terima.
Aku mengenal Rani dan berpacaran dengannya
sekitar tiga tahun lalu, sebelum lengan tangannya segede botol Big Cola (big size) kayak
sekarang.
Kami mulai dekat, sewaktu kami masih di bangku SMA. Walaupun sekolah kita berbeda, itu tak menjadi halangan. Dia sosok lugu
dan manis, yang takkan seorang pun menyangka bahwa dia itu DVD Player. Oke, maksudnya; player.
Ketika kami sama-sama lulus SMA, kami mempunyai jalan yang berbeda. Aku melanjutkan kuliah, Rani memutuskan untuk
bekerja di salah satu perusahaan di desa. Dari situlah hubungan kami mulai
agak renggang. LDR memang kejam, lebih kejam dari pembunuhan. Juga lebih kejam dari
ibu tiri.
Setelah aku mulai aktif kuliah, aku selalu
rutin menelponnya. Seminggu sekali, aku juga pulang untuk sekedar ingin tahu
kabarnya. Aku terlanjur mencintainya. Hingga kuyakin bahwa dialah yang kelak
akan jadi istriku. Aku juga tak menemukan gerak-gerik mencurigakan bahwa Rani
itu player. Makanya, aku tetap bertahan dengannya. Tiga tahun.
***
Suatu hari, ketika badan mulai tidak fit
dengan kegiatan yang padat bejat merayap di kampus, aku malah mendengar kabar
tak menyenangkan yang mengganggu kearifan telingaku. Aku menerima telpon dari
seorang teman, bahwa Rani sedang makan di warung makan – ya iyalah, masa di
toko bangunan – dengan seorang pria.
“Fa, aku lihat Rani makan sama cowok!
Ganteng lohh…” kata Rian menggebu-gebu tanpa pamrih.
“Eh, serius, Cuk?” tanyaku dengan nada tak
percaya setengah curiga. Aku pun segera menelpon Rani.
“Tuuut…tuuut… Nomor yang Anda tuju sedang
ponsek. Cobalah beberapa saat lagi.”
“Diamput! Direject!” seperti
biasa, kata bijakku keluar ketika aku sedang kesal, susah, gundah, gulana dan
merana. Seketika, aku berpikiran untuk membanting hape-ku. Tapi gak jadi.
Sayang, belinya mahal.
Beberapa jam kemudian, Rani menelponku.
“Yang, maaf, tadi ketiduran. Abis tidur
terus nyuci beha. Hape ku-cas, kutinggal nonton Cinta Fitri 10 episode..”
“Oh, ya udah. Gapapa... Kirain lagi makan
sama cowok,”
“Kok kamu bilang gitu, Yang? Aku jadi
sedih... kamu nuduh aku macem-macem, Yang?” katanya dengan nada sedih.
Selalu. Cewek selalu bisa membuat cowok merasa bersalah dengan tangisannya. Cewek salah, dimarahin pasti nangis. Cewek bener, dimarahin, apalagi. Serba salah.
Selalu. Cewek selalu bisa membuat cowok merasa bersalah dengan tangisannya. Cewek salah, dimarahin pasti nangis. Cewek bener, dimarahin, apalagi. Serba salah.
Setelah mendapatkan penjelasan dari Rani,
aku memutuskan untuk tetap percaya bahwa Rani itu setia. Husnuzon-ku, Rani
tidak akan macam-macam di belakangku. Dan cewek yang dilihat temenku mungkin
orang lain yang memang mirip dengan Rani.
***
Tibalah hari Sabtu. Hari yang
kutunggu-tunggu. Seperti biasa, Hari Sabtu selalu kusisihkan sedikit waktu untuk pulang ke
rumah, untukmu sekedar ketemu Rani. Ya, LDR-ku hanya antar-kota, bukan antar-propinsi. Jadi,
setiap seminggu sekali kupastikan ada waktu untuk Rani.
Kami ketemuan di taman tempat biasa ketemu. Sambil membawa sekantong Kwaci, aku menghampiri Rani di taman kota itu. Kebiasaan kita adalah ngobrol lama di taman sambil makan kwaci. Kenangan yang tak pernah terlupakan dengan Rani.
Kami ketemuan di taman tempat biasa ketemu. Sambil membawa sekantong Kwaci, aku menghampiri Rani di taman kota itu. Kebiasaan kita adalah ngobrol lama di taman sambil makan kwaci. Kenangan yang tak pernah terlupakan dengan Rani.
“Yang, jangan cepet pulang ke Semarang
dong, Rani masih kangen..” katanya memelas.
“Waduh, aku harus kuliah hari Senin, Beb.
Soalnya dosennya angker..”
“Killer?”
“Iya, Killer...”
“Ya, deh.. Semangat kuliahnya, ya, Yang...”
Rani tersenyum menyemangatiku untuk segera selesai kuliah. Kami pun pulang
setelah memunguti kulit kwaci kami.
Sesampainya di rumah, tiba-tiba aku dapat
kabar dari komting kelas bahwa kuliah hari Senin libur, karena dosennya lagi
berobatin anjingnya yang sedang depresi karena habis disodomi sama mantan pacar
kucing tetangganya.
“Kuliah hari Senin libur, Fa!” kata Asraf
lewat SMS.
“Enelan, Sraf? Alhamdulillah, aku bisa
boker dengan lega mendengar kabarmu, Sraf. Thank...” Aku bersyukur karena bisa
lebih lama sehari di rumah. Setidaknya aku bisa menyenangkan Rani, kekasihku.
Tapi kali ini aku tak mau memberitahu Rani
tentang ketidakpulanganku ke Semarang. Aku yakin kabar ini pasti membuat Rani
salto bahagia. Aku akan kasih surprise buat Rani.
Besoknya, hari Senin, pagi-pagi sekali aku
menuju ke rumah Rani. Aku berencana mengantarnya berangkat kerja, supaya dia
terkaget senang. Pun aku membawakan sekantong plastik kwaci kesukaan dia.
Sesampainya di rumah Rani, aku menyandarkan
sepeda “Federal jalang”-ku di pohon talas samping rumahnya. Tapi, aku heran.
Kenapa ada motor Mega-Pro bertengger di depan rumah? Padahal, motor Rani kan
Matic. Ah, husnuzon saja. Mungkin itu motor baru ayahnya yang baru saja panen
kwaci. Kan ayah Rani petani kwaci.
Tapi, langkahku tetiba terasa berat ketika
aku melihat dari kejauhan ada sesosok laki-laki, yang tentunya lebih jelek
mukanya dari aku, merangkul mesra Rani di ruang tamunya. Aku melihat dia
mengecup bibir mungil Rani. Hatiku teriris, teroyak, tercabik, terhunus...
Mataku bercucuran air mata kecewa.
Aku pun menghampirinya perlahan.
“Ran, terima kasih atas semuanya,” kukatakan
dengan lirih di balik pintu yang sedikit tertutup.
“Mas Ofa??? Ka..ka..katanya ke Semarang??”
tanyanya sambil tergugup basah.
“Aku libur, Ran. Awalnya aku pengen nganter
kamu ke tempat kerja pake sepeda federal-ku. Tapi apa daya, Mega-Pro biadab
laknat itu memang lebih empuk dipakai daripada boncengan besi sepedaku.”
“Maaf, ya, Mas. Ini Toni, pacarku.”
“Tak apa, Ran...” aku pun berlari pulang
karena tak kuasa menahan emosiku.
“Bacok aku aja, Ran! Bacok aku!” teriakku
tak bernada. Aku masih berlari sambil meratapi nasib. Tapi ada yang
ketinggalan. Ya, sepeda federal-ku ketinggalan di samping rumah Rani. Sial..
Setelah kuambil sepedaku, aku pulang ke
rumah dengan hati tersayat.. Damputt...
Sesampainya aku di rumah, Rian ternyata
sudah menungguku di teras. Dia memastikanku tak kenapa-kenapa.
“Dari dulu udah kubilang sama kamu. Rani
itu “player”, korbannya banyak. Cuma kamu korban ter-lama-nya.” Kata-kata Rian
itu kuartikan “Kamu bodoh, Fa! Bodohhh!! Ketipu lama banget...” Aku hanya
terdiam seperti dibungkam dengan Lem ‘Alteco’.
Semenjak kejadian itu, dua minggu bokerku
encer melulu. Aku pun kembali ke Semarang dengan muka yang setengah tak
ganteng...
****
Seperti biasanya, setiap berangkat kuliah
aku selalu dijemput oleh Asraf, teman kuliahku. Dia baik sekali. Rela
menungguku yang terkadang baru bangun tidur, baru boker, baru dandan, baru
bedakan, dll. Dia telaten menungguku berjam-jam hanya untuk sekedar
memboncengkanku berangkat ke kampus. Asraf melihat ada yang berbeda denganku.
Dia menatapku penuh curiga.
“Fa, habis nangis, ya? Aku juga nonton kok,
tadi malam episode Cinta Fitri menyedihkan... Jangan nangis yah.. Ntar juga
Farel kembali lagi di pelukan Fitri,” entah apa yang diomongin Asraf. Tapi,
Asraf menatapku dekat sekali. Seakan kita mau berciuman.
”Enggak, Srop. Tadi pas boker ada semut
yang jalan-jalan di deket mataku. Nah, kupukul aja pake gayung, ehh... malah
kena mataku,” aku terus beralibi menutupi bekas tangisanku.
“Ahh.. alesan. Habis putus sama Rani, ya?”
Asrop menebak-nebak.
“Iya, Srop... rasanya sakit hati banget,
sama persis kayak pas dulu aku ditinggal nikah sama Ola Ramlan,” jawabku. Lalu
suasana pun hening.
“Iya, Fa. Cari cewek yang bener-bener baik
dan setia itu susah. Kayak cari rambut di kepalanya orang botak. Tapi tenang,
Fa. Allah menyiapkan orang yang lebih baik buat kamu,” kata Asraf
menenangkanku.
“Ahh... sudahlah....” kataku mengakhiri.
****THE END****