Akhir bulan kemarin, tanggal 29 Januari 2015, saya
datang ke acara wisuda adik tingkat kuliah, di sebuah universitas yang berada
di kota Semarang. Sebut saja namanya Afrey dan Hancim. Maaf, nama-nama saya
samarkan untuk menjaga nama baik mereka dari calon mertua masing-masing.
Dari kiri: Hancim dan Afrey |
Saya memang sengaja datang ke acara wisuda mereka,
karena saya telah menganggap mereka sebagai sahabat saya sendiri. Beberapa teman
kami lainnya; Juki (Bondowoso), Syauqi (Purwokerto) dan Umar (Pasuruan), juga
turut datang di acara yang ber-prasejarah itu. Moment ini saya anggap sebagai
reuni kecil-kecilan, karena sangat jarang bisa bertemu dengan makhluk kolosal seperti mereka.
Sebetulnya, Afrey dan Hancim bukan adik tingkat kuliah
saya. Mereka masuk kuliah bebarengan dengan saya pada tahun 2009. Namun,
berhubung saya wisuda duluan, akhirnya mereka saya bai’at menjadi –adik kelas-
saya.
Terlepas dari pro-kontra bahwa mereka adalah adik
kelas saya atau bukan, saya akan sedikit nostalgia. Afrey dan Hancim adalah
sahabat saya. Oleh takdir, kami dipaksa bertemu di kampus dan jurusan yang sama
saat kuliah.
Walaupun kami beda kelas saat kuliah, kami gak pernah yang
namanya kuliah bareng. Iyalah. Oke, bukan itu maksud saya, walaupun kami beda
kelas, tapi kami tinggal di dormitory yang sama, jadinya kami sering kumpul dan
ngobrol. Karena mempunyai visi dan misi yang sama, kami pun terpaksa bersahabatan.
Walau akhirnya kami harus kakak-adekan seperti sekarang. Ya, saya kakak
kelasnya, mereka turun pangkat menjadi adik kelas saya. Mereka sedikit
terlambat wisuda dari saya. #uhuk... Yeaaayy!! *aku merasa senior*
Keterlambatan wisuda mereka sebetulnya bukan tanpa
alasan. Kalau boleh saya analisis, mereka terlambat karena beberapa faktor.
Pertama, skripsi mereka yang sangat berkualitas, hingga membutuhkan waktu yang
tidak singkat untuk menyempurnakan. Tau sendiri, kan, kesempurnaan itu obsesi
yang nyaris mustahil untuk dikejar. Kesempurnaan itu milik Tuhan.
Kedua, karena dosen yang -alibi mereka- susah ditemui. Alasan itu
sebetulnya klasik. Memang, terkadang dosen terkesan sering menghindar dari para
mahasiswa yang dibimbingannya, dengan alasan sibuk. Padahal saya sering
menyarankan sama mereka; dosen yang menyebalkan seperti itu sebaiknya dikirim
santet. Namun, karena biaya konsultasi dengan Eyang Subur sangat mahal,
akhirnya mereka menolak saran saya.
Ketiga, karena jomblo. Ya, jomblo itu seringkali membuat
para penderitanya tidak sempat mengerjakan skripsi. Waktu mereka habis untuk
memikirkan bagaimana cara mendapatkan pacar. Maka dari itu, dulu saya
menyarankan mereka untuk segera mencari pacar. Itu semua agar mereka bergairah
untuk mengerjakan skripsi. Setelah mereka mencari pacar selama 2 tahun,
akhirnya mereka semakin terlambat wisuda. Ini takdir Tuhan, jangan salahkan
saya.
Keempat, faktor males. Ya, sudah menjadi rahasia umum,
bahwa males merupakan alasan paling tepat dari semua alasan.
***
Setelah berjam-jam saya menunggu, akhirnya mereka
keluar dari gedung wisuda. Dari kejauhan, Afrey dan Hancim terlihat sangat bahagia.
Kalau saya ibaratkan, mereka layaknya pasangan yang baru saja melaksanakan
prosesi akad nikah. Saya pun bisa merasakan euphoria mereka. Betapa senyum
tipis yang diiringi butir keringat di dahinya itu menandakan kepuasan dan akhir
dari perjuangan di kampus ijo.
Keduanya pun disambut oleh adik-adik kelasnya,
mahasiswa astronomi, yang sudah menanti lama di luar gedung. Suasana pun riuh
dengan sorakan yang entah itu pujian atau hinaan -karena mereka lulus dengan
IPK 69. cum-laude. Beberapa terlihat meminta foto bareng. Pun saya juga
tak mau ketinggalan untuk berfoto dengan Afrey, seorang artis terkenal dalam
film ‘Assalamualaikum, Zimbabwe..’ itu. Namun sayangnya, tak seorang pun
dari mereka yang ditemani pendamping wisuda.
Oh iya, sebetulnya di acara wisuda sangat banyak, lho,
peluang usaha. Memanfaatkan moment. Seperti jualan bunga, es teh, gorengan,
balon, jasa foto wisuda, sampai jasa menyewakan odong-odong untuk menabrak
mantan yang wisuda (oke, yang ini bercanda). Tapi, ada peluang usaha yang sampai sekarang belum
saya temukan di acara wisuda; yaitu jasa penyewaan pendamping wisuda. Padahal,
mengingat target pasarnya adalah jomblo, pasti akan laku keras.
Saya juga bingung, sebetulnya Afrey memang tak punya
pacar, atau punya pacar tapi disembunyikan supaya tidak menimbulkan sifat
takabbur dan riya? Entahlah. Saya lebih percaya Afrey mempunyai sifat riya’. Lha
wong bibir saja dia berlebih-lebihan. Sombong. Dimonyong-monyongin. Ujub. Padahal
berlebihan itu teman setan. (damai, yo, Jal.. heuheu)
***
Terlepas
dari itu semua, saya hanya ingin mengucapkan selamat atas wisuda kalian.
Selamat menempuh hidup baru. Sebagai senior, saya selalu mendoakan agar nasib
kalian tidak sama seperti saya. Wisuda
bukanlah akhir dari perjuangan, Kawan.. Kalau boleh saya ibaratkan, wisuda
adalah hari di mana kalian dilahirkan kembali, setelah 5 tahun lebih dikandung
dalam rahim kampus. Status baru sebagai sarjana merupakan tantangan baru bagi
kalian. Apalagi kalian merupakan sarjana de facto, bukan de jure.
Faktanya, kalian sarjana, tapi de jure, kalian jomblo. #gagalfokus
Dari kiri: Afrey dan Kakak Seniornya |