Senin, 05 Agustus 2013

Setia Itu Keindahan yang Terkadang Menyakitkan

Malam itu, adalah malam puncak dari segala kegalauanku. Rani, pacar yang selama  ini kucinta, ternyata sedang asyik berduaan dengan Toni, kekasih barunya, tepatnya selingkuhannya. Jujur, aku bingung harus mengatakan apa. Hatiku masih bertanya, sebenarnya Toni selingkuhan Rani, atau aku yang menjadi selingkuhannya Rani?

Berawal dari episode Ganteng-Ganteng Serigala sebelumnya, yaitu ketidakpercayaanku dengan nasehat temanku untuk menjauhi Rani.


“Dia sudah punya pacar, Fa! Rani itu “Player”, hati-hati!” kata temanku, namanya Rian. Dia selalu meyakinkanku. Tapi, aku tetap bersikukuh dengan pendirianku, bahwa ketika aku tidak melihat sendiri, aku tak percaya. Karena nasehat yang salah dari teman bisa menghancurkan suatu hubungan.

“Apa kubilang, Fa? Rani player, kan? Cocok buat muter DVD,” Rian malah mengejekku penuh bangga.

“Anjrit….” Kata-kata bijak selalu keluar dari mulutku, seiring dengan hembusan asap rokok yang menjuntai ke udara. Aku masih tidak terima.

Aku mengenal Rani dan berpacaran dengannya sekitar tiga tahun lalu, sebelum lengan tangannya segede botol Big Cola (big size) kayak sekarang. 
Kami mulai dekat, sewaktu kami masih di bangku SMA. Walaupun sekolah kita berbeda, itu tak menjadi halangan. Dia sosok lugu dan manis, yang takkan seorang pun menyangka bahwa dia itu DVD Player. Oke, maksudnya; player.

Ketika kami sama-sama lulus SMA, kami mempunyai jalan yang berbeda. Aku melanjutkan kuliah, Rani memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan di desa. Dari situlah hubungan kami mulai agak renggang. LDR memang kejam, lebih kejam dari pembunuhan. Juga lebih kejam dari ibu tiri.

Setelah aku mulai aktif kuliah, aku selalu rutin menelponnya. Seminggu sekali, aku juga pulang untuk sekedar ingin tahu kabarnya. Aku terlanjur mencintainya. Hingga kuyakin bahwa dialah yang kelak akan jadi istriku. Aku juga tak menemukan gerak-gerik mencurigakan bahwa Rani itu player. Makanya, aku tetap bertahan dengannya. Tiga tahun.

***
Suatu hari, ketika badan mulai tidak fit dengan kegiatan yang padat bejat merayap di kampus, aku malah mendengar kabar tak menyenangkan yang mengganggu kearifan telingaku. Aku menerima telpon dari seorang teman, bahwa Rani sedang makan di warung makan – ya iyalah, masa di toko bangunan – dengan seorang pria.

“Fa, aku lihat Rani makan sama cowok! Ganteng lohh…” kata Rian menggebu-gebu tanpa pamrih.

“Eh, serius, Cuk?” tanyaku dengan nada tak percaya setengah curiga. Aku pun segera menelpon Rani.

“Tuuut…tuuut… Nomor yang Anda tuju sedang ponsek. Cobalah beberapa saat lagi.”

“Diamput! Direject!” seperti biasa, kata bijakku keluar ketika aku sedang kesal, susah, gundah, gulana dan merana. Seketika, aku berpikiran untuk membanting hape-ku. Tapi gak jadi. Sayang, belinya mahal.

Beberapa jam kemudian, Rani menelponku.

“Yang, maaf, tadi ketiduran. Abis tidur terus nyuci beha. Hape ku-cas, kutinggal nonton Cinta Fitri 10 episode..”

“Oh, ya udah. Gapapa... Kirain lagi makan sama cowok,”

“Kok kamu bilang gitu, Yang? Aku jadi sedih... kamu nuduh aku macem-macem, Yang?” katanya dengan nada sedih. 

Selalu. Cewek selalu bisa membuat cowok merasa bersalah dengan tangisannya. Cewek salah, dimarahin pasti nangis. Cewek bener, dimarahin, apalagi. Serba salah.

Setelah mendapatkan penjelasan dari Rani, aku memutuskan untuk tetap percaya bahwa Rani itu setia. Husnuzon-ku, Rani tidak akan macam-macam di belakangku. Dan cewek yang dilihat temenku mungkin orang lain yang memang mirip dengan Rani.

***
Tibalah hari Sabtu. Hari yang kutunggu-tunggu. Seperti biasa, Hari Sabtu selalu kusisihkan sedikit waktu untuk pulang ke rumah, untukmu sekedar ketemu Rani. Ya, LDR-ku hanya antar-kota, bukan antar-propinsi. Jadi, setiap seminggu sekali kupastikan ada waktu untuk Rani. 

Kami ketemuan di taman tempat biasa ketemu. Sambil membawa sekantong Kwaci, aku menghampiri Rani di taman kota itu. Kebiasaan kita adalah ngobrol lama di taman sambil makan kwaci. Kenangan yang tak pernah terlupakan dengan Rani.

“Yang, jangan cepet pulang ke Semarang dong, Rani masih kangen..” katanya memelas.

“Waduh, aku harus kuliah hari Senin, Beb. Soalnya dosennya angker..”

“Killer?”

“Iya, Killer...”

“Ya, deh.. Semangat kuliahnya, ya, Yang...” Rani tersenyum menyemangatiku untuk segera selesai kuliah. Kami pun pulang setelah memunguti kulit kwaci kami.

Sesampainya di rumah, tiba-tiba aku dapat kabar dari komting kelas bahwa kuliah hari Senin libur, karena dosennya lagi berobatin anjingnya yang sedang depresi karena habis disodomi sama mantan pacar kucing tetangganya.

“Kuliah hari Senin libur, Fa!” kata Asraf lewat SMS.

“Enelan, Sraf? Alhamdulillah, aku bisa boker dengan lega mendengar kabarmu, Sraf. Thank...” Aku bersyukur karena bisa lebih lama sehari di rumah. Setidaknya aku bisa menyenangkan Rani, kekasihku.

Tapi kali ini aku tak mau memberitahu Rani tentang ketidakpulanganku ke Semarang. Aku yakin kabar ini pasti membuat Rani salto bahagia. Aku akan kasih surprise buat Rani.

Besoknya, hari Senin, pagi-pagi sekali aku menuju ke rumah Rani. Aku berencana mengantarnya berangkat kerja, supaya dia terkaget senang. Pun aku membawakan sekantong plastik kwaci kesukaan dia.

Sesampainya di rumah Rani, aku menyandarkan sepeda “Federal jalang”-ku di pohon talas samping rumahnya. Tapi, aku heran. Kenapa ada motor Mega-Pro bertengger di depan rumah? Padahal, motor Rani kan Matic. Ah, husnuzon saja. Mungkin itu motor baru ayahnya yang baru saja panen kwaci. Kan ayah Rani petani kwaci.

Tapi, langkahku tetiba terasa berat ketika aku melihat dari kejauhan ada sesosok laki-laki, yang tentunya lebih jelek mukanya dari aku, merangkul mesra Rani di ruang tamunya. Aku melihat dia mengecup bibir mungil Rani. Hatiku teriris, teroyak, tercabik, terhunus... Mataku bercucuran air mata kecewa.

Aku pun menghampirinya perlahan.

“Ran, terima kasih atas semuanya,” kukatakan dengan lirih di balik pintu yang sedikit tertutup.

“Mas Ofa??? Ka..ka..katanya ke Semarang??” tanyanya sambil tergugup basah.

“Aku libur, Ran. Awalnya aku pengen nganter kamu ke tempat kerja pake sepeda federal-ku. Tapi apa daya, Mega-Pro biadab laknat itu memang lebih empuk dipakai daripada boncengan besi sepedaku.”

“Maaf, ya, Mas. Ini Toni, pacarku.”

“Tak apa, Ran...” aku pun berlari pulang karena tak kuasa menahan emosiku.

“Bacok aku aja, Ran! Bacok aku!” teriakku tak bernada. Aku masih berlari sambil meratapi nasib. Tapi ada yang ketinggalan. Ya, sepeda federal-ku ketinggalan di samping rumah Rani. Sial..

Setelah kuambil sepedaku, aku pulang ke rumah dengan hati tersayat.. Damputt...

Sesampainya aku di rumah, Rian ternyata sudah menungguku di teras. Dia memastikanku tak kenapa-kenapa.

“Dari dulu udah kubilang sama kamu. Rani itu “player”, korbannya banyak. Cuma kamu korban ter-lama-nya.” Kata-kata Rian itu kuartikan “Kamu bodoh, Fa! Bodohhh!! Ketipu lama banget...” Aku hanya terdiam seperti dibungkam dengan Lem ‘Alteco’.

Semenjak kejadian itu, dua minggu bokerku encer melulu. Aku pun kembali ke Semarang dengan muka yang setengah tak ganteng...

****
Seperti biasanya, setiap berangkat kuliah aku selalu dijemput oleh Asraf, teman kuliahku. Dia baik sekali. Rela menungguku yang terkadang baru bangun tidur, baru boker, baru dandan, baru bedakan, dll. Dia telaten menungguku berjam-jam hanya untuk sekedar memboncengkanku berangkat ke kampus. Asraf melihat ada yang berbeda denganku. Dia menatapku penuh curiga.

“Fa, habis nangis, ya? Aku juga nonton kok, tadi malam episode Cinta Fitri menyedihkan... Jangan nangis yah.. Ntar juga Farel kembali lagi di pelukan Fitri,” entah apa yang diomongin Asraf. Tapi, Asraf menatapku dekat sekali. Seakan kita mau berciuman.

”Enggak, Srop. Tadi pas boker ada semut yang jalan-jalan di deket mataku. Nah, kupukul aja pake gayung, ehh... malah kena mataku,” aku terus beralibi menutupi bekas tangisanku.

“Ahh.. alesan. Habis putus sama Rani, ya?” Asrop menebak-nebak.

“Iya, Srop... rasanya sakit hati banget, sama persis kayak pas dulu aku ditinggal nikah sama Ola Ramlan,” jawabku. Lalu suasana pun hening.

“Iya, Fa. Cari cewek yang bener-bener baik dan setia itu susah. Kayak cari rambut di kepalanya orang botak. Tapi tenang, Fa. Allah menyiapkan orang yang lebih baik buat kamu,” kata Asraf menenangkanku.

“Ahh... sudahlah....” kataku mengakhiri.

****THE END****